Senin, Mei 18, 2009

PAUD

Eksploitasi Anak di Televisi

Seiring gencarnya isu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), ada hal yang menggelitik saya berkaitan dengan fenomena anak usia dini (AUD). Anak kita ini, sering menjadi objek dalam dunia periklanan Indonesia, terutama di televisi. Anak memiliki potensi sesuai aslinya, yaitu kejujuran berkata, kepolosan perilaku dan apa adanya.

Saat ini, iklan di televisi kian beragam. Anak baik sebagai penyampai langsung atau figuran, berupaya mengajak pemirsa untuk mengonsumsi sebuah produk. Menjadi pertanyaan, benarkah anak an sich cukup menjadi daya tarik? Produsen makanan anak akan menggunakan anak (umumnya selebritis). Begitu pula kebutuhan yang bersentuhan langsung dengan dunia mereka. Di sini, anak masih dominan sebagai daya tarik. Atau dimaksudkan oleh produsen sebagai 'pengatrol' angka penjualan.

Ada yang patut dicemaskan tentang posisi anak sebagai penyampai pesan, yakni pembudayaan berbohong kepada khalayak. Anak dilatih untuk mengakui kelebihan sebuah produk, padahal ia sama sekali tidak mengetahuinya. Ini diperparah dengan dukungan sikap orangtua mereka, bahkan dengan alasan pengembangan bakat si anak. Kulturisasi yang dilakukan sejak dini ini, berarti memperkenalkan anak pada sebuah dunia imajiner. Dunia imajiner ini berbeda dengan daya khayal mereka yang bersifat alamiah. Secara psikologi, anak dibiarkan pada ancaman hipokretisasi (kemunafikan). Substansi ini yang perlu dikedepankan.

Selain substansi di atas, iklan di televisi terkait erat dengan program acara. Iklan bukan sekadar pengiring jeda sebuah tayangan. Sederhananya, mana yang lebih berdampak buruk pada anak: iklan atau program acara? Tentu bukan untuk memisahkan satu sama lain antara iklan dan acara. Keduanya sama-sama memiliki dampak pada perkembangan anak. Di sisi lain, perkembangan komunikasi periklanan saat ini sedemikian maju. Tayangan iklan tidak lagi berperan sebagai penyampai informasi produk, tetapi sekaligus sebagai media hiburan dan pendidikan.

Kemajuan komunikasi periklanan mengharuskan adanya keadilan dalam pembuatan regulasi. Di samping tetap menghargai kreativitas, penting pula penegakan hukum. Iklan yang membohongi konsumen, terlebih melibatkan anak, tidak ada pilihan lain kecuali diberi sanksi yang berat. Begitu juga dengan batasan dalam kode etik periklanan. Dikaitkan dengan perkembangan komunikasi, kode etik bukan lagi aturan normatif yang bersifat global. Kode etik harus mengakomodasi batasan kreativitas yang tidak bertentangan dengan perlindungan anak.

Pemerintah selaku pihak yang membuat regulasi periklanan, belum serius memperhatikan hak anak. Dalam hal ini, pemerintah kurang melakukan kontrol atas tayangan iklan (utamanya) melalui televisi. Seakan, pemerintah lepas dari tanggung jawab setelah aturan formal telah ditetapkan.

Begitu pula dengan penilaian iklan. Terjadi selama ini kerap mengabaikan hak anak; parameternya baru sebatas popularitas di mata pemirsa, itu pun dilakukan oleh pemirsa dewasa. Belum ada kesungguhan untuk memberikan penganugerahan atas produsen yang berempati pada hak anak. Produsen tidak atau belum diberikan stimulasi untuk berlomba membuat tayangan iklan yang bervisi edukatif, sekaligus menghibur utamanya bagi anak-anak. Begitu juga dengan acara di televisi.

Kini saatnya pelibatan anak tidak sekadar sebagai objek pasif. Setidaknya memperhatikan hak mereka. Saat ini, eksploitasi tidak hanya dilakukan produsen, tetapi juga televisi. Saatnya kini, masyarakat terlibat aktif; bukan lagi sebagai perespon atas iklan, tetapi juga pelaku yang berhak untuk dilibatkan. Semuanya bukan untuk membatasi kreativitas. Bahkan, kreativitas itu dikelola untuk sebuah visi: mencerdaskan anak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar