Minggu, Mei 03, 2009

Pendidikan Khusus


MENGENAL PENDIDIKAN NAHDHATUL ULAMA
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara sederhana tentang kondisi pendidikan di bawah naungan NU mulai dari sejak berdirinya sampai dengan pertumbuhan dan perkembangan serta problem-problem yang melingkupi dan kemungkinan solusinya. Dalam sejarahnya, keberadaan organisasi NU memang tidak lepas dari sejarah pendidikan nusantara di negeri ini. Terdapat visi dan misi khusus yang diusung oleh NU dalam pendirian organisasinya dan beragam lembaga yang ada di bawah naungannya.
Visi tersebut adalah ajaran Aswaja dan misinya adalah pemberdayaan umat. Pengejawantahan visi dan misi tersebut dilakukan melalui media pendidikan, dakwah dan beragam aktualisasi diri lain dengan sarana lembaga-lembaga yang tersedia. Dalam hal pendidikan, sementara ini NU tidak tertandingi dari aspek kuantitas. Sementara dari aspek kualitas, pendidikan NU masih tertantang untuk terus ditingkatkan keberadaannya. Dalam perjalanannya, pendidikan NU memang tidak steril dari beragam masalah. Salah satu masalah yang masih melekat adalah mengenai SDM para pendidiknya.
Oleh karenanya, peningkatan kualitas SDM melalui beragam jalan, misalnya, pelatihan, rekomendasi sekolah, dan sejenisnya, perlu dilakukan oleh NU dan berbagai lembaga yang ada di bawah naungannya. Keynote: Sejarah, Problem & Solusi Pendidikan NU.
Mengenal Nahdhatul Ulama
Dalam konteks pendidikan merupakan hal yang menarik. Ini karena sebuah kesadaran bahwa NU menaungi beragam jenis pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Kuantitas pendidikan di bawah naungan NU (Ma'arif) tidak terbantahkan banyaknya. Meski demikian, dalam hal kualitas, keberadaan pendidikan di bawah naungan NU tetap harus diperjuangkan untuk ditingkatkan. Banyaknya lembaga pendidikan di bawah naungan NU berbanding lurus dengan jumlah umat NU yang mayoritas di negeri ini. Hal itu yang kemudian menuntut disediakannya lembaga-lembaga pendidikan yang dapat dijadikan media belajar dan pengembangan bagi umat NU.
NU perlu mengkoordinasi lembaga-lembaga pendidikan yang ada di bawah naungannya, mengingat ada ciri khusus yang harus ada dalam materi pelajaran di lembaga pendidikan NU, yaitu materi Aswaja (Ahlus Sunnah wal-Jama'ah). Materi ini tidak mesti diberikan di lembaga pendidikan di luar naungan NU. Lebih lanjut, artikel ini akan mengulas eksistensi pendidikan NU mulai dari sejak berdirinya sampai dengan pertumbuhan dan perkembangannya serta beragam problem yang melingkupi dan kemungkinan solusinya. Bagaimanapun tulisan ini hanya secercah kata untuk melukiskan keberadaan pendidikan NU secara sekilas.
Untuk melihat dan mengenal serta memahami pendidikan NU yang sebenarnya haruslah melalui observasi dan kajian serta eksplorasi yang lebih mendalam melalui beragam metode dan sumber yang tersedia. Sejarah Pendidikan Nahdhatul Ulama Sejarah pergerakan NU sebenarnya adalah sejarah pendidikan nusantara. Pohon organisasi NU sangat rimbun oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, majelis taklim, diniyyah, madrasah/ sekolah dan perguruan tinggi. Dalam hal pendidikan, NU merupakan salah satu lokomotif pembaharuan pendidikan. Setahun setelah berdirinya, persisnya pada Muktamar NU ke-2 (1927), Muktamirin mengagendakan penggalangan dana secara nasional untuk mendirikan dan membangun madrasah dan sekolah.
Pada Muktamar NU ke-3 (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli pendidikan dengan mengajak para Muktamirin untuk mengunjungi pesantren-pesantren besar seperti Tambak Beras yang dipimpin KH. Wahab Chasbullah, Denanyar yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri, dan Nganjuk yang dipimpin oleh K. Pathudin Seror Putih. Pada Muktamar NU ke-4 (1929), panitia Muktamar merespon kecenderungan naiknya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendorong para Muktamirin sepakat untuk membentuk wadah khusus yang menangani bidang pendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang diketuai oleh Ustadz Abdullah Ubaid, waktu itu disebut presiden. Pada perkembangan selanjutnya, terbentuklah Lembaga Pendidikan Maâ?Tarif NU (LPMNU) pada Muktamar NU ke-20 (1959) di Jakarta. Dari arena Muktamar ke Muktamar, hingga Muktamar NU ke-30 (1999) di Kediri, Lirboyo, Jawa Timur, NU tetap menjadikan sektor pendidikan sebagai mainstream (pemikiran utama). Munas dan Konbes NU tanggal 25-28 Juli 2002 di Pondok Gede Jakarta, yang mencoba mempertegas kembali posisi bidang pendidikan untuk menjadi prioritas program NU.
Untuk menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah itu, tepatnya tanggal 22-25 Agustus 2002 di Kawasan Puncak Batu Malang Jawa Timur, diselenggarakan Rapat Kerja LPMNU dan Musyawarah Kerja Perguruan Tinggi NU. Di forum tersebut, NU kembali mematangkan format, strategi dan guidlines (garis panduan) pengembangan pendidikan di lingkungan NU. Keberadaan pendidikan di wilayah NU berawal dari keberadaan pesantren. Para kiai pesantren, dahulu kala, ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagian besar mendirikan pesantren sebagai institusi pendidikan. Oleh karena pendidikan pesantren, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan, khususnya fiqih-hukum-yurisprudensi; dan karena kitab fiqih itu kebanyakan berbahasa Arab, maka untuk memahaminya diperlukan ilmu alat berupa nahwuâ?"sharaf, jadi pesantren mesti memiliki perangkat keilmuan nahwu-sharaf.
Pada perkembangan selanjutnya, kira-kira setelah kemerdekaan, terjadi pengembangan model pendidikan di pesantren. Hal ini berawal dari realitas bahwa tidak semua santri yang keluar dari pesantren itu mampu menjadi kiai, sementara mereka tetap membutuhkan ranah pendidikan, akhirnya mereka mendirikan sekolah-sekolah di kampung yang bernama madrasah. Jadi madrasah itu sebenarnya keberlanjutan dari pesantren. Di madrasah, materi keilmuan yang diajarkan â?"pada awalnya- adalah sama dengan yang ada di pesantren, bedanya kiai tidak berada dalam lingkup madarasah, tidak seperti pesantren yang memiliki ciri-ciri; ada santri, kitab kuning, kiai, pondokan, dan masjid.
Dalam konteks pendidikan NU, sistem pendidikan pesantren yang telah lama melembaga bagi masyarakat Islam nusantara tidak bisa dilupakan. Keberadaan NU hingga saat ini selalu ditopang oleh pesantren. Dari pesantren basis kekuatan NU dibangun dengan banyak melahirkan para ulama dan kiai, yang kemudian membentuk jamâ?Tiyah NU dan berjuang di dalamnya. Pondok pesantren di Indonesia memang tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda pada 1831, di Jawa terdapat tidak kurang dari 1.853 buah pesantren dengan jumlah santri tidak kurang dari 16.500 orang. Suatu survey yang diselenggarakan kantor Shumubu (Kantor Urusan Agama) pada masa Jepang pada 1942, jumlah pesantren bertambah menjadi 1.871 buah, jumlah tersebut belum ditambah dengan pesantren di luar Jawa dan pesantren-pesantren kecil. Pada masa kemerdekaan jumlah pesantren terus bertambah. Berdasarkan laporan Departemen Agama RI pada 2001, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 12.817 buah.
Pertumbuhan dan perkembangan pesantren terhambat ketika bangsa Eropa datang ke Indonesia untuk menjajah. Hal ini terjadi karena pesantren bersikap non kooperatif bahkan mengadakan konfrontasi terhadap penjajah. Akibat dari sikap tersebut, maka pemerintah kolonial ketika itu mengadakan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap pesantren. Setelah Indonesia merdeka, pesantren tumbuh dan berkembang dengan pesat. Ekspansi pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren yang semula hanya rural based institusion, kemudian berkembang menjadi pendidikan urban; karena pesantren tumbuh juga di kota-kota besar. Beberapa pihak memahami bahwa dunia pesantren adalah dimensi yang sulit berubah, dan itu selama ini dianggap sebagai simbol kejumudan (kebekuan) dan kemandegan (stagnasi). Padahal pesantren memiliki dinamika perkembangan yang dinamis, bisa berubah, mempunyai dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan & menggerakkan perubahan yang diinginkan, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Demi meminimalisasi problem pendidikan pesantren, dibutuhkan keberanian diri untuk melakukan rekonstruksi dalam artian positif, yakni membangun pesantren berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, rekonstruksi sistem pendidikan pesantren bukan berarti merombak seluruh sistem yang ada yang berakibat hilangnya jati diri pesantren. Rekonstruksi tersebut tidak harus merubah orientasi atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai lembaga dalam pengertian yang luas; juga tidak perlu mengorbankan nilai-nilai seperti keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiyah, kemandirian dan optimisme. Jadi keberadaan pendidikan di lingkungan NU sebelum madrasah- adalah pesantren.
Saat ini pendidikan pesantren berada dalam naungan NU, yang penanganannya dipasrahkan pada Lajnah RMI (Lembaga Rabithah Maâ?Tahid Islamiyah), sedangkan pendidikan madrasah berada dalam naungan NU, yang penanganannya diserahkan kepada Lembaga Pendidikan Maâ?Tarif (LPM). NU adalah organisasi sosial keagamaan yang berusaha mewadahi kegiatan ulama dan umat Islam Indonesia yang berfaham aswaja untuk melanjutkan dakwah Islamiyah dan melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Tujuannya agar Islam diamalkan menurut faham aswaja, dengan menganut salah satu mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafiâ?Ti dan Hanbali di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai usaha untuk mencapai tujuan tersebut di atas adalah melalui kegiatan pendidikan, pengajaran dan pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam menurut faham aswaja. Seperti dipaparkan di bagian depan, bahwa sebagai perangkat yang bertanggung jawab menangani pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan dan pengajaran adalah LP Ma'arif. LP Ma'arif yang memiliki peran sangat strategis, secara resmi baru berdiri tanggal 21 Syaâ?Tban 1380 H. bertepatan dengan tanggal 7 februari 1961. Tugas utama LP Ma'arif adalah membina, mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah / madrasah-madrasah dari tingkat pendidikan pra sekolah sampai perguruan tinggi, serta pendidikan non formal, seperti kursus-kursus dan pelatihan keterampilan. Pada era 70-80-an, pesantren mengikuti kurikulum pemerintah. Terdapat pergeseran cukup esensial, kalau dulu orang mondok sambil sekolah, tapi sekarang karena di dalam pesantren ada kurikulum pendidikan pemerintah, maka orang sekolah sambil mondok. Jadi mondok sekarang bukan menjadi sesuatu yang mayor tetapi minor. Itulah yang menyebabkan perubahan fenomena kehidupan (khususnya pendidikan) yang terjadi di lingkungan NU. Pendidikan NU mempunyai dua ciri yang esensial; 1). Alâ?Tiâ?Ttimad alannafsi (berdikari), dan 2). Fil Ijtimaâ?Tiyah (memasyarakat), artinya dihidupi oleh masyarakat. Madrasah atau pesantren itu didirikan oleh masyarakat dan dibiayai sendiri oleh masyarakat. Ketika masyarakat mau belajar atau mau menyekolahkan anaknya di pesantren atau madrasah, mereka hanya ditunjukkan tempatnya oleh kiai, kemudian mereka membangun kamar sendiri. Hal itu sekarang bergeser, pesantren atau madrasah tidak berdikari, mereka juga mencari sumbangan ke pemerintah. Wali santri sekarang tidak otomatis menyumbang kecuali ada tarikan dari pihak sekolah. Jadi tidak ada kesukarelaan seperti dulu, kalau wali santri menitipkan anaknya ke pesantren maka bangunan pesantren menjadi tanggung jawab wali santri. Untuk lembaga pendidikan formal (sekolah/ madrasah) di NU, penanganannya telah diserahkan kepada LP Maâ?Tarif. LP Ma'arif sebagai garda depan yang ikut menentukan wajah SDM NU, sering tidak terlibat langsung dalam proses kependidikan Islam di pondok pesantren baik yang formal seperti madrasah/ sekolah maupun non formal seperti pesantren. Semua kegiatan di pondok pesantren dikelola langsung oleh kiai atau yayasan yang sengaja dibentuk untuk itu. Posisi LP Ma'arif terhadap madrasah dan sekolah yang ada di pondok pesantren hanya sebatas koordinasi, bukan komando. Koordinasi yang dimaksud adalah menyangkut hal-hal yang tidak prinsip, misalnya ajakan ikut serta mensukseskan pekan olag raga dan seni (Porseni), bukan dalam soal proses belajar mengajar. Kewenangan LP Ma'arif pada lembaga kependidikan di pondok pesantren tidak berfungsi sepenuhnya, bukan terjadi secara kebetulan, tetapi berlatar belakang sosial kultural yang ada di masyarakat NU. Bruinessen menyatakan bahwa NU merupakan organisasi yang sangat terdesentralisasi. Mengingat warganya suka memiliki rasa kemandirian (kebebasan) yang sangat tinggi yang diwarisi dari para kiai, yang lepas dari struktur organisasi, tetapi di sisi lain memiliki pengaruh dan menjadi penyangga moral NU. Dengan berdasar pada pengaruh yang dimiliki, para kiai sering merasa dapat ikut mengatur jalannya organisasi, bahkan kadang-kadang dapat mengalahkan kekuatan-kekuatan lain, termasuk aturan main yang telah disepakati bersama. Di dalam masyarakat berkultur NU, baik dalam bentuk organisasinya (jamâ?Tiyah) maupun kelompok paguyubannya (jamaâ?Tah) terdapat semacam pembagian kelas, yaitu kelas kiai (ulama) yang berperan sebagai guru dan pendapatnya hampir tidak terbantahkan dan kelas pengikut. Hubungan antara pengikut dan pimpinan jamaâ?Tah (kiai) memiliki intimitas yang tinggi, dalam pengertian posisi kiai sebagai penentu dan pengikut sebagai yang ditentukan. Para fungsionaris LP Ma'arif baik di tingkat pusat maupun daerah kebanyakan terdiri dari kelas pengikut. Wajar apabila kemudian banyak kasus tentang kebijaksanaan pendidikan dan pengajaran dikendalikan tidak hanya oleh Ma'arif, tetapi juga dipengaruhi oleh individu ulama atau kiai. Pengaruh kiai kadang-kadang tidak sejalan dengan kebijakan Ma'arif.
Dengan demikian wajar apabila sekolah/ madrasah di lingkungan NU terkesan seperti dipimpin oleh empat (4) institusi secara bersamaan, yaitu :
(1) Ma'arif sebagai mandataris jamâ?Tiyah NU yang diberi wewenang di bidang pendidikan dan pengajaran.
(2) Syuriyah yang merupakan kelompok ulama yang merasa memiliki akses untuk mencampuri semua urusan yang menyangkut warga NU.
(3) Tanfidziyah yang berperan sebagai pelaksana harian syuriyah, dan
(4) Ulama sebagai individu, karena merasa sebagai panutan umat.
Dalam konteks sejarah Indonesia, gerakan ilmiah Islam (pendidikan Islam) banyak diwarnai oleh politik halus kolonial Belanda, yang telah berhasil menyudutkan kaum Muslimin ke suatu sudut pandang yang hanya menekankan pada kehidupan ukhrawi. Akibatnya, dinamisasi keilmuan hanya berkisar pada ulumussyari'ah, tasawuf, ritual formal ubudiyah dan terpaku ke masa lampau, dengan karya ilmuwan yang dinilai sakral (bebas kritik). Sementara di bidang lainnya, mengalami kemandegan dengan latar belakang anggapan bahwa ilmu umum itu semata-mata urusan duniawi. Dari sinilah muncul dikotomi ulumuddin (ilmu-ilmu agama) dan ulumuddunya (ilmu-ilmu dunia), antara madrasah dan sekolah, bahkan antara kitab dan buku.
Komunitas NU termasuk salah satu kelompok Muslim Indonesia yang terkena pengaruh politik halus Belanda dalam bidang kependidikan, sehingga tafaqquh fiddin (pemahaman dalam hal agama) difahami secara sempit dan terbatas pada apa yang dimaksud dengan ulumuddin, dan secara eksklusif tidak pernah dikorelasikan dengan pemahaman addin (agama) itu sendiri secara utuh. Akibatnya, dinamika ilmiah-pendidikan NU cenderung lemah, meski tidak bisa dibilang mandeg. Pada saat dinamika ilmiah Islam di Indonesia dicoba digerakkan, yang ditandai dengan munculnya perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) baik negeri maupun swasta, adanya proyek Madrasah Wajib Belajar (MWB) yang dilengkapi dengan Ujian Guru Agama (UAG), kemudian adanya SKB Tiga Menteri, maka di kalangan NU, terutama di kalangan pesantren yang merupakan basis lembaga pendidikan NU, bermunculan sistem-sistem madrasi yang sebelumnya tidak begitu tampak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar