Jumat, April 03, 2009

Pendidikan Layanan Khusus

Indonesia Dapat Dijadikan Laboratorium Hidup Pendidikan Inklusif
Contributed by ririn
Monday, 02 June 2008


Denpasar,, Indonesia dapat dipromosikan menjadi laboratorium hidup pendidikan inklusif. Hal ini dilatarbelakangi oleh
keragaman budaya, bahasa, agama, serta kondisi alam yang terfragmentasi secara geologis dan geografis.
"Indonesia adalah laboratorium terbesar dan paling menarik untuk (menghadapi) permasalahan dan tantangan
pendidikan inklusif karena inilah negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000," kata
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada Konferensi Asia Pasifik Pendidikan Inklusif di Hotel
Sanur Paradise Plasa, Denpasar, Bali, Kamis (29/05/2008).

Hadir pada acara Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas (Dirjen Mandikdasmen)
Suyanto, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Ka Balitbang)
Depdiknas Mansyur Ramly, Sekretaris Ditjen Mandikdasmen Bambang Indriyanto, Direktur Pembinaan Sekolah Luar
Biasa Ekodjatmiko Sukarso, dan Ketua Harian Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman.

Selain itu hadir Direktur Biro Pendidikan International (IBE) UNESCO Mrs. Clementina Acedo, Direktur UNESCO Kantor
Bangkok Sheldon Shaeffer, dan para perwakilan 20 negara Asia Pasifik yang memberikan perhatian khusus pada
pendidikan inklusif.

Mendiknas menyampaikan, pendidikan inklusif bukan hanya ditujukan untuk anak-anak cacat atau ketunaan, tetapi juga
bagi anak-anak yang menjadi korban HIV/AIDS, anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling
bawah, anak-anak jalanan, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak korban bencana
alam. "Anak-anak ini yang harus dilayani dengan Pendidikan Layanan Khusus (PLK)," katanya.

Mendiknas mengatakan, untuk menangani pendidikan inklusif di Indonesia maka diperlukan strategi khusus. Dia
menyebutkan empat strategi pokok yang diterapkan pemerintah. Pertama, peraturan perundang-undangan yang
menyatakan jaminan kepada setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pelayanan pendidikan. Kedua,
memasukkan aspek fleksibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal , dan informal.

Sementara strategi ketiga adalah menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Lalu
strategi keempat adalah dengan mengoptimalkan peranan guru. Menurut Mendiknas, untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif dibutuhkan berbagai macam tipe guru yang ahli untuk segmen yang berbeda-beda seperti untuk anak
jalanan, daerah perbatasan dan daerah terpencil. "Guru-guru semacam ini penting dan tentunya sistem insentif untuk
guru juga menjadi sangat penting," katanya.

Mendiknas menjelaskan, berbagai sekolah khusus di Indonesia diantaranya adalah sekolah khusus untuk anak-anak
cacat, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Selain itu, didirikan juga pusat-pusat pendidikan layanan
khusus di berbagai daerah seperti di daerah konflik dan daerah perbatasan. "Ada bahkan di Sarawak dan Sabah,
Malaysia sekarang sedang dikembangkan suatu unit pelayanan khusus pendidikan nonformal untuk anak-anak TKI
(Tenaga Kerja Indonesia) ilegal yang bekerja di sana," katanya.

Clementina mengatakan, pendidikan inklusif merupakan pendekatan strategis untuk mencapai target pendidikan untuk
semua atau education for all. Pendidikan inklusif, kata dia, menjadi isu utama di kawasan Asia Pasifik karena adanya
berbagai macam perbedaan dan semakin menguatnya proses demokratisasi termasuk berkembangnya populasi anakanak
dan pemuda. "Perlu diterapkan peraturan yang fleksibel ke dalam sistem lokal sehingga memasukkan anak-anak
yang terpinggirkan sekaligus memberikan berbagai macam pilihan untuk mereka," katanya.

Sumber: Pers Depdiknas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar