Kurikulum Khusus Penyandang Autis
Sabtu, 17 Mei 2008 - 10:50 wib
PENDIDIKAN bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak  biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual.
Data yang dimiliki Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan,  penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima  besar dari seluruh peserta sekolah khusus.
Jumlah terbesar adalah  penyandang tuna grahita (keterbatasan intelektual) berat dan ringan sebanyak  38.545 peserta, tuna rungu 19.199 peserta. Diikuti kemudian penyandang tuna  netra 3.218 peserta, tuna daksa 1.920 peserta dan autis sebanyak 1.752 peserta.
Di Indonesia, sekolah yang khusus menangani autis berjumlah 1.752  sekolah. Lima besar provinsi yang paling banyak mendirikan sekolah autis adalah  Jawa Barat sebanyak 402 sekolah, Jawa Timur 263 sekolah, Daerah Istimewa  Yogyakarta 131 sekolah. Kemudian diikuti Sumatera Barat dan DKI Jakarta yang  masing-masing memiliki 111 sekolah untuk penyandang autis.
Direktur  Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan  Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso  menyatakan, UU Sisdiknas No20 Tahun 2003 mengamanatkan kepada pemerintah untuk  menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat. "Pemerintah mengakui dan  melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK)  bagipenyandangautis," sebutnya.
Semua hal yang terkait dengan  pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman pada Badan Standar Nasional  Pendidikan (BSNP). Namun begitu, Eko mengatakan, Diknas memberikan kebebasan  kepada masing-masing sekolah untuk menentukan kurikulum bagi penyandang autis.  Ini disebabkan setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda dalam mendidik  penyandang autis.
Awal Psikolog dari sekolah khusus autis "Mandiga" di  Jakarta, Dyah Puspita menyatakan, kurikulum autis harus dibuat berbeda-beda  untuk setiap individu. Mengingat setiap anak autis memiliki kebutuhan berbeda.  Ini sesuai dengan sifat autis yang berspektrum. Misalnya ada anak yang butuh  belajar komunikasi dengan intensif, ada yang perlu belajar bagaimana mengurus  dirinya sendiri dan ada juga yang hanya perlu fokus pada masalah akademis.
Penentuan kurikulum yang tepat bagi tiap-tiap anak, Dini Yusuf, pendiri  homeschool untuk anak autis "Kubis" di Jakarta mengatakan, bergantung  dari assessment (penilaian) awal yang dilakukan tiap sekolah. Penilaian  ini perlu dilakukan sebelum sekolah menerima anak autis baru. Biasanya,  penilaian melalui wawancara terhadap kedua orangtuanya. Wawancara ini untuk  mengetahui latar belakang, hambatan, dan kondisi lingkungan sosial anak.
Selain itu, penilain awal ini juga melalui observasi langsung terhadap  anak. Lamanya penilaian awal ini, menurut Dini,berbeda-beda."Tetapi, dari sana,  kami lalu menentukan jenis terapi dan juga kurikulum yang tepat buat sang anak,"  ujarnya. Biasanya, terapi ini akan digabungkan dengan bermain agar lebih  menyenangkan bagi anak autis.
Kepala Sekolah khusus autis, AGCA Centre  Bekasi Ira Christiana, mengatakan, sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk  terapi bagi penyandang autis. Di antaranya, terapi terpadu, wicara, integritas,  dan fisioterapi. "Terapi apa yang diberikan tergantung dari kondisi anaknya,"  sebutnya.
Perlakuan terhadap penyandang autis di atas umur lima tahun  berbeda dengan penyandang autis di bawah umur lima tahun. Terapi penyandang  autis di atas umur lima tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar bisa  bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. "Ini wajib hukumnya karena mereka  sudah waktunya untuk sekolah," ujar Ira.
Jika penyandang autis yang  berumur di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi sama sekali, maka akan  diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada peningkatan syaraf motorik  kasar dan halus. Bagi penyandang yang sudah bisa bersosialisasi, maka akan  langsung ditempatkan di sekolah reguler, dengan catatan mereka harus tetap  mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis.
Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti  terapi perilaku dan wicara. Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan  kepatuhan, meniru, dan okupasi. Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal  yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu, melafalkan huruf A,dan melafalkan  konsonan.
Hal lain yang patut dicermati, menurut Ira, adalah konsistensi  antara apa yang dilakukan di sekolah dengan di rumah. Jika terdapat perbedaan  yang mencolok,kemajuan anak autis akan sulit dicapai. Anak mengalami kebingungan  atas apa yang ada pada lingkungannya. Untuk itu, diperlukan komunikasi intensif  antara sekolah dan orangtua.(sindo//nsa)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar