Kamis, Maret 19, 2009

pendidikan Khusus

Anak dengan kebutuhan khusus
Forum ini khusus untuk gangguan tertentu.
Gangguan Perilaku -Jika Anak Tidak Bisa Diam-
Submitted by Anonymous on Wed, 08/15/2007 - 13:48

* ADHD

KOMPAS - Jumat, 20 Jul 2007 Halaman: 46 Penulis: atk Ukuran: 5184 Foto: 1

--------------------------------------------------------------------------------

Gangguan Perilaku
JIKA ANAK TIDAK BISA DIAM

Rifki dikenal sebagai anak yang jahil. Ia selalu bergerak dan
mengganggu teman sekelas saat mereka mengerjakan tugas. Saat bermain
pun Rifki cenderung bertengkar dengan teman-temannya atau melakukan
aksi nekat, naik ke puncak tiang permainan atau bergelantungan di
pohon.
Orang awam melihat Rifki sebagai anak nakal, tetapi sebenarnya
dia mengalami gangguan yang di dunia psikiatri dikenal sebagai
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH).
Gangguan ini pertama kali dideskripsikan oleh Heinrich Hoffman,
penulis buku kedokteran dan psikiatri, tahun 1845. Karena kesulitan
mendapatkan buku bacaan yang sesuai bagi anaknya, ia lantas menulis
buku untuk anak. Bukunya, The Story of Fidgety Philip, merupakan
deskripsi akurat tentang seorang anak kecil yang mengalami GPPH.
Namun, bahasan ilmiah tentang GPPH baru dilakukan tahun 1902
dengan terbitnya buku Sir George F Still tentang seri kuliahnya di
The Royal College of Physicians, Inggris. Sejak itu ribuan makalah
dipublikasikan para ilmuwan untuk memaparkan gejala, penyebab,
gangguan, dan pengobatan GPPH.
Menurut Dwidjo Saputro, pendiri Klinik Perkembangan Anak dan
Kesulitan Belajar, GPPH adalah gangguan neurobehavioural atau
gangguan perilaku akibat gangguan fisik di otak. Jadi bukan akibat
salah asuhan.
Gangguan ini disebut juga gangguan fungsi kognitif dan
pengendalian impuls. Manifestasinya, anak tidak mampu berkonsentrasi
dan sangat impulsif atau tidak mampu membuat pertimbangan sebelum
bertindak.
Cirinya, selain tidak bisa diam, anak juga meledak-ledak dan
bersikap agresif. Anak tidak mampu berkonsentrasi dan menyelesaikan
tugas, sering kehilangan alat sekolah, kesulitanmematuhi perintah,
banyak bicara tetapi kacau, gaduh, gelisah, dan sering mengganggu
orang lain.

Gangguan sel otak
Dwidjo mengutip teori pakar psikiatri dari AS, Russel Barkley.
Penderita GPPH mengalami gangguan fungsi eksekutif, yaitu merancang,
mempertimbangkan, dan melaksanakan suatu tindakan. Kelainan ini
terjadi pada struktur terdepan dari otak depan (prefrontal cortex).
Menurut Dwidjo, penelitian menunjukkan pemberian obat bisa
meningkatkan fungsi eksekutif. Obat berfungsi meningkatkan sintesa
dan pelepasan dopamine dan norepinephrine.
Kemajuan dunia kedokteran memungkinkan penelitian menggunakan
Positron Emission Tomography Scan. Dari pencitraan tampak struktur
otak anak GPPH berbeda dengan anak normal.
Pada anak dengan GPPH ditemukan dopamine transporter (DAT1) dan
dopamine reseptor (DRD4) yang mengganggu transportasi dan penerimaan
dopamine di sel otak. Dalam hal ini pompa yang mengatur keseimbangan
pengeluaran dan penarikan kembali dopamine bekerjaterlalu cepat
sehingga dopamine yang bertugas mengirim data tidak terdistribusi dan
masuk ke sel lain dengan baik.
Selain GPPH murni, GPPH bisa juga disebabkan oleh kondisi medik
lai,n seperti epilepsi atau keterbelakangan mental. Karena itu,
dokter harus memeriksa secara teliti.
Menurut booklet yang diterbitkan National Institute of Mental
Health, AS, ada tiga subtipe GPPH, yaitu tipe hiperaktif-impulsif,
tipe inatentif (tidak mampu berkonsentrasi), dan tipe kombinasi.
Dwidjo menyatakan, prevalensi umum GPPH dunia adalah 5-8 persen.
Di Indonesia belum ada angka resmi, tetapi penelitian Dwidjo tahun
2001-2004 pada 4.013 anak di 10 SD di Jakarta menunjukkan, 25,2
persen siswa memperlihatkan indikasi GPPH. Rinciannya, 15 persen
sulit berkonsentrasi (tipe inatentif) dan sisanya terbagi antara tipe
hiperaktif-impulsif serta tipe kombinasi.
"GPPH perlu segera diobati. Jika tidak, bisa menimbulkan dampak.
Di keluarga, hal ini menyebabkan anak mengalami kesulitan belajar dan
orangtua frustrasi. Di sekolah, anak GPPH bisa dicap sebagai anak
nakal,bodoh, atau malas," ujar Dwidjo.
Anak GPPH perlu mendapat obat untuk membantu meningkatkan
kemampuan belajar dan mengontrol perilaku. Dengan bertambahnya usia,
fungsi eksekutif bisa membaik, anak bisa berkonsentrasi dan perilaku
lebih terkendali sehingga pemberian obat bisa dihentikan.
Jika anak yang tidak mendapat pengobatan secara baik, GPPH bisa
berlanjut sampai remaja dan dewasa. Remaja GPPH cenderung mengalami
kecelakaan akibat kurang hati-hati, terlibat kenakalan remaja atau
menjadi penyalah guna obat. Penderita GPPH bisa mengalami gangguan
kepribadian antisosial yang permanen.
Staf pengajar Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia dr Ika Widyawati SpKJ menambahkan bahwa GPPH
yang berlanjut sampai dewasa berdampak lebih berat.
Penelitian di AS menunjukkan, 75 persen penyalah guna obat atau
narkotik memiliki sejarah GPPH waktu kecil yang tidak mendapat
pengobatan memadai. Selain itu, 80 persen penghuni penjara adalah
penderita GPPH yang tidak terobati secara tuntas. (Atk)

Setiap anak berhak mendapatkan lingkungan yang mendukung untuk tumbuh
kembang menjadi orang dewasa yang seutuhnya
Adhd
Submitted by shishie on Mon, 08/13/2007 - 09:24

* ADHD

pagi dokter hardiono...

dok...
terus terang pertemuan hari jumat diklinik dengan diagnosa dokter kalau ABRAR termasuk ADHD hiper aktif...gangguan konsentrasi dan hasil tes dari ibu nuki...saya lemas dok...nggak nyangka akan seperti itu hasilnya. saat itu saya nggak tau musti nanya apa...dan bagaimana. dulu dsa-nya hanya bilang cuma gangguan motorik dan dilatih saja agar jadi menjadi terbiasa...ternyata......

obat yang dokter sarankan sudah mulai diminum hari ini...nanti perkembangannya akan saya laporkan (sesuai permintaan dokter..), nanti juga akan ada beberapa kali pertemua lagi dengan ibu nuki.

sekarang saya nanya dikit dulu ya dok...(masih blank soalnya) :
1. untuk selanjutnya bagaimana ya.. saya dan suami bersikap kepada abrar..apa musti penanganan khusus dirumah dan sekolah..? apa gurunya perlu diberi tahu..?
2. kemaren saya lupa cerita dok, kalau dia juga takut dengan bunyi-bunyian tertentu, dengan ayam, dan setiap apa yang dia lagi suka malam mau tidur akan diletakkan dikasur sampai besok paginya. apa ini termasuk perilaku ADHD..?

mom's...
kalo ada yang punya pengalaman dengan anak ADHD atau ada yang tau...tolong dong share ke saya....trus ada yang tau nggak dimana beli gunting khusus buat orang kidal...

terima kasih....dokter dan mom's atas bantuannya...

*yang lagi shock dan bingung...*
Saraf no 7 bermasalah
Submitted by Kris on Fri, 08/10/2007 - 16:08

* Penyakit otot

Dokters,

Anak saya sejak lahir ada masalah dengan saraf no 7 nya. Jadi kalo nangis bibirnya menceng. Bibir bawah sebelah kanan tidak simetris dengan bibir bawah sebelah kiri kalo nangis. Bibir kanan bawah lebih pasif. Tapi kalo tidak nangis ya tidak menceng.

Anak saya di rujukkan ke spesialis fisioterapi. Dokter fisioterapi nya mengatakan kasus anak saya ini sangat langka. Anak saya diberikan terapi setrum selama 2 bulan. Terapi sudah dilakukan tapi menurut saya tidak ada perubahan sama sekali. Dokter Fisioterapi menyarankan untuk EMG (bener nggak ya nulisnya) untuk mengetahui kondisi sarafnya. Apakah saraf no 7 nya kejepit atao gimana. Saya belum memberi keputusan mengingat anak saya masih kecil, baru berumur 10 bln.

Untuk informasi, pertumbuhan anak saya cukup normal menurut Dsa nya. makan & minum juga normal, merem melek juga normal, alis kalo diangkat dua-duanya bisa. Menurut dokter fisioterapi penyakit anak saya bukan Bell's palsy.

Pertanyaan saya :
1. Kenapa bibir kanan bawah anak saya pasif kalo nangis, tidak simetris dg bibir kiri bawah ?
2. Apakah nama penyakit anak saya ?
3. Kasus seperti anak saya tersebut, saraf ataukah ototnya yang bermasalah ?
4. Bagaimana untuk menyembuhkan penyakit anak saya ?

Mohon informasinya, doks. Terimakasih sebelumnya.
kejang waktu kecil bisa berulang saat dewasa
Submitted by Jobaja3raja on Mon, 08/06/2007 - 23:34

* Kejang

apabila seorang anak waktu kecil pernah menderita kejang, baik itu kejang karena demam tinggi, maupun sebab lain...apakah bisa kambuh saat dia dewasa?
maksudnya setelah dia mencapai akil balig, dia bisa kejang kembali?
apabila iya, apakah akan ada efek sampingan seperti amnesia sementara.

teman saya (laki2) sekarang mengalami kondisi amnesia, dimana dia tidak bisa mengingat nama2 orang maupun hubungan dia dengan orang tersebut. beberapa kejadian bisa direcall.
sebelumnya memang dia sempat kejang (tanpa demam) cuma apakah waktu kecil dia juga pernah kejang, saya tidak tahu

mohon informasinya ya dokt, mengingat, salah satu anak saya juga pernah kejang
Down Syndrom
Submitted by Leny Supardi on Mon, 08/06/2007 - 12:26

* Sindrom Down

Dok,

Mau nanya donk, apa gejala anak Down Syndrom yach ? Apakah bisa kelihatan dari bayi ?

Thank's
Lenys
Tidak Merespon Bisa Jadi Indikasi Autis
Submitted by Anonymous on Mon, 08/06/2007 - 10:55

* Autisme

Hasil temuan ini sangat baik. Menurut laporan dari University of Califonia Davis, Sacramento, AS, seperti dikutip Reuters, identifikasi lebih dini pada gangguan autis akan memberikan kemungkinan intervensi yang menjanjikan. Hasil penelitian dipublikasikan dalam Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine edisi April.

Penelitian tersebut melibatkan 101 anak usia satu tahun dengan saudara sekandung yang lebih tua yang memiliki autis dan dipertimbangkan memiliki risiko tersebut. Mereka lantas dibandingkan dengan 46 bayi berusia sama yang diyakini tidak memiliki risiko tinggi mengalami gangguan.

Para peneliti mengamati anak yang duduk di kursi dengan meja berisi mainan kecil. Kemudian para peneliti berjalan di belakang mereka dan memanggil namanya dengan suara jelas. Bila anak tidak memberi respon dalam waktu tiga detik, nama mereka dipanggil lagi tak lebih dari dua kali. Hasilnya, pada seluruh bayi di kelompok risiko rendah merespon pada panggilan pertama atau kedua.

Dua tahun setelahnya, para peneliti mengikutsertakan 46 bayi dari kelompok risiko dan 25 dari kelompok risiko rendah. Mereka menjumpai bahwa tiga perempat dari bayi yang tidak merespon saat dipanggil namanya di usia 12 bulan mengalami gangguan perkembangan saat berusia dua tahun.

Anak-anak itu lalu didiagnosis mengalami autis. Setengah dari anak itu mengalami kegagalan tes di usia satu tahun. Dan dari mereka yang diidentifikasi memiliki keterlambatan perkembangan apa pun, 39 persennya mengalami kegagalan pada tes pengenalan nama.
Hasil tes ini memang tidak dapat menemukan seluruh anak yang berisiko terhadap masalah perkembangan. Namun, tes ini tergolong mudah dilakukan dan bisa digunakan oleh para dokter dalam check up anak di usia satu tahun.

Dalam artikel terkait pada jurnal yang sama, para peneliti di Abt Associates Inc, Lexington, Massachusetts, dan Harvard School of Public Health, Boston, mengatakan analisis dari literatur dan survei medis menunjukkan, setiap orang dengan autis membebani masyarakat AS sekitar 3,2 juta dolar selama hidupnya. Ini termasuk faktor produktivitas yang hilang bagi anak dan orangtuanya, obat resep dokter, perawatan saat mereka dewasa, pendidikan khusus, dan terapi perilaku.@
pelecehan terhadap anak autis
Submitted by Jobaja3raja on Fri, 07/27/2007 - 16:55

* Autisme

Rekan rekan semua,

Perkenalkan nama saya Widodo Wijono istri Ferina Widodo.
Kami punya 3 anak, yg pertama perempuan 15thn (Winona Amanda Tiara) kelas 1 SMA, yg kedua laki laki 13 thn (Wismubroto Putra) kelas 6 SD dan yang bontot laki laki 6 thn (Windriargo Hario) klas 1 SD.
Anak kami yg kedua penyandang Autis.

Dibawah ini adalah surat yang kami kirimkan ke Management Time Zone. Maksud dari pengiriman surat ini bukan untuk memprovokasi rekan semua tetapi sekedar perhatian agar hal serupa tidak akan pernah terjadi lagi pada anak anak kita.

Kepada Yth, Jakarta 23 Juli 2007
Ibu Angela Sutan
Marketing Manager
PT. Matahari Graha Fantasy
Jakarta.

Salam Sejahtera

Kami adalah pelanggan/konsumen Time Zone Lippo Super Mall Karawaci (Time Zone LSMK), tujuan kami mengirimkan surat ini adalah sebagai ungkapan kekecewaan kami atas kejadian yang kami alami di Time Zone LSMK pada tanggal 15 Juli 2007, sekitar pukul 19:00. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan juga konsultasi dengan beberapa pakar/psikolog, kami terbitkan surat ini dengan itikad baik agar dapat ditinjau oleh pihak Time Zone.

Time Zone LSMK adalah salah satu tempat bermain favorit anak kami laki laki 13 thn dan sejak mereka masih kecil kami sekeluarga sering bermain di Time Zone LSMK.
Anak kami adalah penyandang Autis, sungguhpun demikian ia memiliki kemampuan lebih dalam hal keberanian dalam bermain permainan yang menantang dan juga memiliki keseimbangan yang sangat baik.

Anak kami sangat senang bermain Jet Coster, Kora Kora, Roller Blade, Ice Skating, Papan luncur di kolam renang Lippo Cikarang dsb.
Setiap liburan sekolah ia selalu mengajak kami berlibur ke DUFAN, LSMK untuk bermain Jet Coster dan juga permainan yang menantang lainnya.
Kami dan pengasuh hanya mendampingi saja.

Pada hari Minggu tanggal 15 Juli 2007 yang merupakan hari terakhir liburan sekolah, anak kami menagih janji untuk dapat bermain di Time Zone LSMK.
Sesampainya disana anak kami ditemani ayahnya naik Jet Coster (1 x putaran), kemudian dilanjutkan dengan bermain simulator Jet Coster (Van Turner).

Tetapi pada pukul 19:00 saat anak kami akan kembali naik Jet Coster untuk yang kedua kalinya didampingi pengasuhnya, petugas permainan melarang anak kami untuk menaiki permainan tersebut setelah tahu bahwa anak kami Autis. Hal itu dipertanyakan karena melihat anak kami mengepak ngepakkan tangannya sesaat sambil tertawa ditangga sebelum duduk di Jet Coster, padahal hal ini hanyalah salah satu kebiasaan dari umumnya anak Autis dalam mengungkapkan kegembiraan mereka, dan bukan reaksi / perilaku yang membahayakan. Pada waktu itu anak kami juga tenang, senang dan tidak ada masalah apa apa, karena sudah terbiasa bermain di Time Zone LSMK.

Kami sangat terkejut dan juga heran, kenapa anak kami dilarang main tanpa ada masalah apapun. Kamipun bertanya dimana peraturan tertulisnya, karena peraturan tertulis yang terpampang dengan jelas adalah “Usia harus minimal 12 tahun dan tinggi badan minimal 120 centimeter”. Usia anak kami 13 tahun, tinggi badan 160 centimeter dan beratnya 55 kilogram.

Kami sudah berusaha menjelaskan kepada petugas tersebut bahwa tadi kita sudah bermain dipermainan tersebut, petugas tersebut kelihatannya tidak percaya akan keterangan ini dan ia meminjam power card kami untuk diperiksa kebenarannya dicounter dan setelah itu petugas tersebut mengembalikan kartu saya tetapi tetap tidak memperbolehkan anak kami bermain.

Setelah itu petugas tersebut memanggil supervisornya, dan kembali kami jelaskan perihal ini, tetapi dengan entengnya mereka mengatakan bahwa anak Autis tetap tidak diperbolehkan padahal sudah terbukti anak kami mampu bermain dengan baik. Bahkan perlu kami jelaskan bahwa anak kami mempunyai kemampuan yang luarbiasa dalam hal keberanian dan keseimbangan yang tidak dimiliki oleh setiap anak normal sekalipun.

Kami sampai pada satu kesimpulan bahwa pihak pengelola dan juga petugas tidak mengerti sama sekali apa itu Autis.
Kejadian ini sangat mengecewakan anak kami, harapannya dipenghujung liburan sekolah dapat bermain di Time Zone LSMK berakhir dengan kegagalan. Bagi kami larangan tersebut merupakan “ Pelecehan terhadap Anak Autis” dan juga “Pelanggaran Hak Azasi Anak” hal ini juga merupakan perlakuan Diskriminatif, karena anak Autis berhak bermain dan bersenang senang seperti anak lain.

Perlu diketahui bahwa karakter Anak Autis satu dengan yang lain berbeda, sangat beragam, spesifik dan tidak bisa disama ratakan. Ada Anak Autis yang takut akan ketinggian, takut berenang, takut akan keramaian ataupun ditengah keramaian itu sendiri dsb, bagi Anak Autis seperti itu sudah tentu orang tua mereka tidak akan membawa anaknya bermain ditempat-tempat yang membahayakan dan tidak nyaman bagi anak mereka. Tetapi ada juga Anak Autis yang pandai, hobby berenang, gemar tantangan, tidak ada masalah dikeramaian dan kebetulan anak kami termasuk pada kategori ini.

Kami mohon perhatian dari pihak Time Zone untuk menyikapi permasalahan ini dengan sungguh sungguh, karena hal ini menyangkut nasib entah berapa banyak Anak Autis di Indonesia, mereka akan mendapatkan perlakuan diskriminatif juga.

Sebagai sebuah perusahaan besar, Time Zone harus berkonsultasi dengan pakar pakar psikologi anak yang menangani masalah Autis sebelum membuat suatu larangan ataupun peraturan dan juga harus menampilkan dengan jelas larangan larangan tersebut. Sebagai contoh “Dilarang untuk pengidap sakit jantung dan epilepsi” dsb.

Time Zone seyogyanya membekali para karyawan yang bertugas dengan pengetahuan praktis tentang psikologi anak agar dapat menimbang hal hal yang sekiranya bakal terjadi dalam mengambil suatu keputusan.
Anak Autis manapun berhak untuk berbahagia, bermain dan bersenang-senang karena hal itu juga dapat merupakan suatu teraphy bagi mereka untuk dapat menjadi lebih baik dan juga mengasah kemampuan kemampuan mereka yang terpendam.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Salam kami,
Widodo Wijono
Ferina Widodo
Orang tua dari Wismubroto Putra Widodo.
Tel. 021- 585 5383

Tembusan:
Surat Pembaca Harian Kompas

Tukar pendapat (Sharing)
· Kak Seto (Ketua Komnas Perlindungan Anak)
· Dra. Rose Mini A. Prianto M. Psi (Psikolog, Dosen Universitas Indonesia)
· Dra .Nuki Nurdadi Msi (Pakar Autis, Dosen Universitas Indonesia)
· Dra. Adriana Ginanjar Psi (Pendidik, Pendiri Sekolah Khusus Penyandang Autisma Mandiga)
· Ibu Ira Dompas SH (Orang Tua Oscar Dompas, penyandang Autis & penulis buku)
· Juga beberapa pakar, pendidik lain.

Mohon tanggapan dari rekan rekan Ortu anak penyandang Autis, dan juga mohon maaf bila kurang berkenan

Terima kasih.
Widodo Wijono
Procurement Department
Kapan Pemeriksaan EEG harus dilakukan?
Submitted by Laksitawati on Tue, 07/24/2007 - 18:30

* Kejang

dear,
Perkenalkan saya mama anggie (13 bulan) dari palembang, Beberapa hari yang lalu Anggie kejang sampai beberapa menit, wajahnya pucat sekali dan bibir sampai kebiruan.
Setelah konsultasi dengan dokter Anak, dia menyarankan secepatnya dilakukan EEG. Kemudian 2 hari setelah kejadian kami lakukan pemeriksaan EEG dan hasilnya adalah ada yang [B]ABNORMAL[/B] pada syaraf otak Anggie, kemudian diHARUSkan minum obat untuk epilepsi (lupa namanya) selama 1 tahun berturut-turut.
Kami punya dokter anak langganan di Semarang, dan Coba konsultasi mengenai Kejang yang terjadi pada Anggie, Kata Dokter Yang diSemarang Untuk Pemeriksaan EEG, waktunya harus lebih dari 1 minggu dari Kejadian (Kejang), dan direkomendasikan untuk lakukan EEG ulang setelah satu minggu.

Jadi kira-kira gimana Dok, Apakah perlu dilakukan EEG Ulang?

Terima kasih.
Best Regards
Mama Anggie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar