Kamis, Mei 28, 2009

tugas translate

Sebuah Studi Kasus
dari Guru – Guru Mengenai Pelajar – Pelajar Berbakat.
Peralihan dari Menentukan Latihan ke Menggambarkan Pelaksanaannya.

By : Ben Graffam
University of South Flourida.

Abstrak
Dua orang guru patut di contoh oleh pelajar – pelajar berbakat. Dimana belajar untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik, baik itu melalui latihan dari guru dan guru juga berpikir mengenai latihan itu. Melalui pengamatan secara luas dan didalam wawancara, disini guru mempertunjukkan dan membicarakan kualitas mereka untuk hal – hal yang diperlukan karena mendidik pelajar – pelajar berbakat. Meskipun masing – masing memiliki pengalaman memimpin jenis kelas yang berbeda, keduanya menyatakan dengan tegas.
a. Mengajar pelajar – pelajar berbakat diperlukan pembingkaian masing – masing individu dan pengelompokkan seluruh pelajar secara bersamaan, dan
b. Bahwa garis edar seseorang berakibat untuk menjadi guru pelajar – pelajar berbakat adalah penting.
Secara signifikan adalah masing – masing cara ini guru – guru mengasimilasikan dan menggabungkan beberapa ide – ide yang resmi tentang pendidikan berbakat. Jenis pendidikan ini jarang kami temui di kesusastraan. Tetapi mungkin untuk guru – guru tidak berharga–pemeliharaan guru atau guru itu sudah siap bekerja–siapa ingin memperbaiki keterampilan mereka dalam bekerja dengan pelajar – pelajar berbakat.
Di babnya pada guru – guru pelajar – pelajar berbakat, Croft (2003) menulis : “mengisolasikan sifat kompetensi unik keefektipan guru – guru yang berbakat adalah sebuah tantangan. Banyak sifat yang melukiskan dalam penelitian di pendidikan berbakat. Berhubungan sampai ke sifat kebutuhan untuk mengajar yang manapun sukses.” (p.560). Dia berhak menceritakan kepada kami yang diperlukan dan dikembangkan oleh pembelajar berbakat. Dalam bidang keterampilan bahwa guru di pendidikan umum tidak memerlukannya. Dia melaoprkan penelitiannya itu (e.g. melihat Hansen dan Feldhusen, 1994) bagaimana menunjukan persiapan yang lebih spesifik untuk mengajar pelajar – pelajar berbakat ada hal – hal yang diperlukan sampai mencapai keberhasilan mengajar di ruang kelas itu.
Di kertas ini berharap untuk membawa Croft’s (2003) mengatakan satu langkah lebih lanjut : di urutan untuk guru pembelajar berbakat disiapkan secara efektif karena akan mengajar di kelas itu, penelitian yang lebih deskriptif “ahli” untuk diadakan kebutuhan guru – guru. Resep dan daftar karakteristik tidak dapat buatan seorang guru. Tampaknya, perkumpulan itu memerlukan penggambaran secara prkatis yang dapat di jumpai untuk yang akan dating dan guru – guru selanjutnya sama. Sebagai model latihan yang lebih baik. Tanpa model seperti itu, ini adalah resiko jatuhnya kedalam masalah Tomlinson et al.(1994) memperingatkan : mengabaikan kreatif pelajar berbakat, pengertian sempit dari perbedaan dan instruksi, serta sebuah”dangkalnya strategi yang baik untuk menjawab perbedaan akademik.”(p.111)

Menempatkan pencarian untuk penggunaan
Informasi yang ditimbulkan dari surat kabar ini menggambarkan suatu ruang kelas yang istimewa untuk memulai berlatih dengan pembelajar berbakat. Baik gambaran cerita guru A maupun penggabungan pikiran dari guru A dan E. Menegaskan keperluan untuk memenuhi syarat untuk jadi guru di kelas berbakat. Penelitian ini tanda permulaan database itu menggambarkan definisi latihan yang patut di contoh dan dipakai oleh guru pembelajar berbakat. Database seperti itu dapat membantu suatu daerah untuk percobaan pelatihan guru untuk bekerja dengan pelajar – pelajar berbakat ; juga dapat menjadi bagian pokok karena membantu guru memulai mengembangkan di program perguruan. Metodologi yang dipakai disini dengan mudah dapat dilaksanakan tanpa latihan besar dipenelitian akademis, demikian membuat proses studi ini dapat dicapai oleh hadirin dan dari perkumpulan peserta. Diharapkan dari guru – guru yang berlatih – baik di kelas biasa maupun di ruang kelas berbakat. Sebagai gambaran metodologi disini untuk menolong mereka agar mengerti dan sebagai model yang baik untuk kami menyajikan pelajar – pelajar berbakat.

Latar belakang
Perkumpulan nasional bagi anak – anak berbakat, daftar pengumuman untuk 2003 memperinci 35 teks utama. Beberapa tema muncul, memasuki pertengahan sekolah filsafat, strategi belajar bekerjasama, program evaluasi, dan bidang politik yang menanggapi program pembelaan baik local maupun badan perwakilan nasional. Disana ada buku – buku tentang sifat pelajar – pelajar berbakat dan kesulitan – kesulitan (dan mudah – mudahan kegembiraan) menjadi orangtua dari seorang anak berbakat. Masih, satu – satunya buku diatas daftar dengan fokus pada guru pelajar – pelajar berbakat adalah sesuatu atas perkembangan staf. Dalam penerbitan NAGC pun, itu adalah langkah bahwa kami mendapat kesempatan untuk membaca tentang kualitas dari guru – guru pelajar – pelajar berbakat.
Sebenarnya, untuk menjadi guru – guru pelajar – pelajar berbakat kelihatannya kurang dapat menggambarkan kesusastraannya. Dari Leta Holling Worth Onword, bidang ini mempunyai :
a. Bekerja untuk menciptakan kejelasan dan ketentuan – ketentuan berbakat yang dapat diterima.
b. Yang harus dikerjakan secara luas adalah mengenai sifat dari pelajar – pelajar berbakat.
c. Menciptakan banyak sekali kesamaan itu dapat meragukan kecerahan pemikiran.
d. Mapan, jelas dan sangat kuat (meskipun sayangnya tidak selalu berhasil) jalan besar untuk pembelaan pendidikan berbakat, dan
e. Memperkebangkan metodologi karena mengajar pelajar – pelajar berbakat.
Tetapi sudah ada penelitian relative kecil yang mengajar dibidang itu mencoba memahami.
Pollock (1996) melaporkan sebuah studi kasus dimana dia membuntuti seorang guru selama sebagian besar tahun pada penciptaan kembali karir mengajarnya. Dia sudah menjadi seorang guru / administrator selama 14 tahun, tetapi sekarang dari waktu pertama, adalah seorang guru pelajar berbakat. Meskipun langkah dijurusan benar, kebanyakan studi memperinci cara seorang guru baru sampai lingkup mirip seorang guru baru sampai ke profesi. Pollock tidak memperlihatkan kepada kami sepertia apa untuk emnjadi seorang guru yang berbakat. Sebernanya dia kurang mampu dengan pelajaran ini, kasusnya baru saja mulai dikerjakan disana. Miranda dan Landmann (2001) juga melaporkan studi kasus guru, meskipun menjadi jelas bahwa guru ini adalah sebetulnya seorang guru berbakat dan seorang guru berbakat tidak seperti itu. Ini tidaklah untuk menjadi “kritis” kami membutuhkan guru lebih banyak seperti Rick Landmann. Tampaknya, mengatakan hal ini kepada kami agar merasakan perlunya membuat cara sepeti ini dari cerita yang ada seperti yang biasa dilakukan sebagai model untuk calon guru dan yang sekarang guru – guru berbakat.
Menariknya bahwa kasus guru seperti itu tidak lazim lagi, karena metodologi studi kasus itu sering berbekas di pendidikan berbakat. Bulan (1991) menyebutkan beberapa studi : dijangkauan perkembangan dan urutan kurikulum bahasa sastra, memperkembangkan perbaikan system diidentifikasi, pada pelajar – pelajar berbakat. Dengan berlipat ganda rintangan – rintangan dan tentu saja atas kasus badan pertumbuhan tunggal seorang pelajar – pelajar berbakat. Tetapi, tak satupun dari dia yang menyebutkan alamat seorang guru yang berbakat.
Greene (1987) menulis bahwa peneliti perlu menemukan jauh lebih kualitatif yang menggambarkan pengalaman seorang guru. Coleman (1994) mendekati Greene’s tantangan baginya fenomena pemeriksaan Alex, guru di program bakalaurent internasional. Coleman mengamati dan mewawancarai Alex selama dua minggu musim panas dimana Alex mempunyai program mengajar filsafat pada 20 orang mahasiswa berbakat. Menggunkan wawancara diri, pengamatan peserta,dan wawancara informal Coleman’s belajar memberikan kami dengan sebuah pengertian pengalaman mengharukan “badan guru” dari pelajar – pelajar berbakat. Disatu penerimaan yang benar –benar lincah kata Alex’s dan analisa Colema’s berdiri di jajaran dan menyusun pengalaman mengajar. Dengan klata lain, kami melihat Alex yang mana melakukan dan kami dapat membaca apa yang dikatakan Alex tentang yang dilakukannya.
Bagaimanapun, eksplorasi seperti ini adalah pengecualian. Galagher’s teks, mengajar anak berbakat (1964), tidak mempunyai bab dan hanya satu daftar indeks tentang referensi guru berbakat. Piirton (1999), Van Tassel – Baska dan little (2003), serta Davis dan Rimm (2004). Mereka langsung membuat teks penting terhadap sifat dari individu berbakat dan cara kurikulum bisa mencapai mutu mereka. Apa ada yang bebas, bagaimanapun dan deskripsi tentang sibuk latihan, mempertunjukkan bagaimana isi itu bisa disampaikan.
Dalam kejujuran, tekanan istimewa atas pelatihan guru – guru yang berrbakat dianjurkan mengikuti pendidikan berbakat (Hasen dan Feldhusen, 1994). Saya sudah terlibat dengan gelar Master’s dalam program pendidikan di University of South Florida selama 5 tahun, dan program kami adalah praktis. Menggunakan program mengajar keterampilan. Kebanyakan kami berurusan dengan guru muda yang ingin bekerja dengan pikiran cerah. Dan oleh sebab itu, pendekatan yang akan memasuki sampai ke tahap pelatihan sifat ini dan yang diperlukan pelajar – pelajar berbakat. Guru yang berhasil melakukan keahlian mereka jadi model yang tidak dilakukan di dalam, karena kekurangannya kualitas model. Sewaktu mereka muncul, secara umum mereka diperkenalkan melalui data menurut angka mengental/meninjau hasil (Archambault, et.al.,1993; Chan, 2001; Pabrik, 2003), daripada deskriptif teks sekarang ini kenyataannya guru itu pengalaman didalam kelas.
Di edisi baru saja guru dari pendidikan itu (Cassady dan Mullen, 2001) tiga pertanyaan yang tidak terbatas ialah menanyakan pemimpin yang menonjol dari pendidikan berbakat. Dari tiga pertanyaan itu, beberapa detik kelihatannya banyak yang mencocokkan dari menjelajahi sifat lebih langsung sampai gagasan dan kebiasaan guru – guru yang berbakat : “jika anda dapat mengenali inti yang tidak bisa dibicarakan, pendapat ahli diri anda, pengetahuan yang mana atau keterampilan yang sebaiknya dimiliki semua guru mengenai pendidikan berbakat dan pelajar-pelajar bebakat.?” (p.168)
Respondent – Gallagher, Kaplan, Reis, Renzulli, Tomlinson, dan Van Tassel – Baska menegaskan guru – guru itu membutuhkan bakat untuk menjadikan pelajar – pelajar agar penuh gairah dan mempunyai kemampuan untuk menggambarkan dan sifat yang mengagumi pengetahuan. Guru ini perlu mempunyai daftar sandiwara untuk memenuhi keterampilan yang dapat dimengerti dan mempelajari gaya setiap individu pada waktu bertemu kepala mahasiswa mereka. Jawaban terkumpul dapat memberi pengertian apa yang diharapkan oleh pemimpin atau dari ketiadaan dari karakteristik ini.
Yang mana kumpulan studi ini, waktu itu adalah keperluan untuk menyelidiki sifat beberapa guru ini lewat observasi dan wawancara. Pendapat luar tentang siapa mereka ialah apakah mereka mempunyai pengalaman mengajar di dunia berbakat itu, dan bagaimana tugas tertentu itu yang berarti pada jiwa memberi mereka akan menampakkan baik kebidang bakat maupun pendidikan guru. Melihat bagaimana guru ini bergaul dengan bakat pembelajaran untuk membedakan kesamaan mereka ialah pengantaran akan membolehkan pengertian perhubungan yang lebih dalam untuk itu guna mengetahui tentang bermacam – macam. Secara berimbang, pengamatan dan wawancara ini akan membolehkan guru mengamati juga menggambarkan atas keterampilannya sendiri dan karakteristik, menyediakan kendaraan untuk pertumbuhan profesionalnya sendiri.

Metode
Studi kasus (Merriam, 1998; Adil, 1995) adalah cara istimewa mendapatkan konteks pengertian yang lebih mendalam, pengalaman spesipik, dan interaksi buatan itu diatas hidup manusia. Mereka membolehkan pandangan di kelompok khusus, tergambar dari penelompokkan kelas, untuk mengungkapkan kualitas kelas itu kepada pembaca. Protocol studi kasus yang dikembangkan oleh Adil dan Merriam menyebabkan seleksi sebanyak dua orang guru pelajar – pelajar berbakat, kedua diantaranya yang di calonkan oleh kawan sebaya dan pengawas mereka yang sepatutnya dicontoh. Sesutu diantaranya guru berbakat dari tahun ini untuk Negara bagiannya, serta orang yang di tunjuk di National teacher’s Hall of Fame. Yang lain sudah bekerja untuk local, nasional dan penghargaan internasional juga, karena memperkembangkan program untuk mahasiswanya dapat menerima dan mengirim pesan ke dan dari orang yang pergi mengelilingi dunia. Sebab lain karena memilih guru ini adalah bahwa masing – masing mengajar dari bingkai berbeda : salah satu hal yang memperkaya adalah program guru berbakat, yang lain yaitu program akselerasi akademik. Itu penting untuk dicatat, yang saya tahu dari keduanya itu sebelumnya dari permulaan studi itu, sebagai teman dan rekan kerja untuk 5 tahun ke depan.
Sekarang ini adalah studi penjajakan, ialah membuat keputusan untuk bekerja dengan satu orang guru yang baru – baru ini sudah pension dan yang masih di ruang kelas. Seleksi ini membolehkan penjajaran sebanyak dua bentuk pengumpulan data, satu diantaranya mewawancarai dan salah satu dapat merealisasikan (Jane Sick, 2000) data wawancara lewat pengamatan. Dokumen ruang kelas – handout, jurnal peserta dan jenis penilaian itu dapat hal – hal yang perlu dimengerti bagaimana pergaulan guru dengan pelajarnya (Cress Well, 1998) juga dikumpulkan.
Hasil pengamatan dari dua helai formulir : 2 jam kunjungan resmi di ruang kelas sama sekali tidak membayangkan hari bekerja. Yang kedua tugas latihan pengamatan (Merriam, 1998; Adil, 1995; Tedlock, 2000)maupun anggota aktif peneliti (Angrosino dan De Perez, 2000) dipakai. Dalam masing- masing tugas, fungsi peneliti di ruang kelas, dan guru dapat menganjurkan mahasiswanya atau penelitian berinteraksi. Ini membolehkan koneksi diantara peneliti dan peserta bahwa itu adalah berharga karena mengubah data jadi cerita (Wolcott, 1999).
Metode koleksi data kedua, panjangnya wawancara adalah “satu metode yang sangat kuat dalam kualitatif pabrik persenjataan itu”. Jalur masuknya informasi berhubungan dengan tidak melanggar kebebasan pribadi diri peserta. Cara luar biasa membuka kategori – kategori dan orang menggunakan asumsi untuk membuat dia berarti berada di dunia (Mc. Cracken). Wawancara panjang membolehkan latihan untuk mengatakan ceritanya sendiri dalam ucapannya sendiri yang relative tidak mengurung konteks. Ini juga membantu kode pewawancara dan dipakainya bahasa pasar oleh peserta. Sekali lagi membolehkan wawasan yang menolong balik data ke dalam deskripsi cerita (Wolcott, 1999), dua wawancara panjang dengan masing – masing peserta dan diadakan salah satu dari keduanya.
Mengikuti Seldman (1998) protocol, wawancara pertama adalah wawancara sejarah hidup, penumpukkan dilator belakang peserta dan hubungannya untuk mengerti bakat, mengajar dan berbicara di depan umum. Wawancara kedua yang dipusatkan pemberian pertemuan menjadi seorang guru pelajar – pelajar berbakat. Wawancara finalnya dimana guru baik adalah hadiah, menjelajahi bagaimana menjadi seorang guru pelajar – pelajar berbakat maupun memberi perseorangan yang special sampai kehidupannya berarti.
Semua wawancara telah tercatat, tetapi daripada mencatat masing- masing secara singkat kata-untuk-model kata, beberapa kali mendengarkan radio masing-masing, dan kemudian menuliskannya dalam bentuk singkat (Krueger & Casey, 2000). Penyingkatan informasi yang tidak diperlukan seperti itu diperbolehkan untuk disingkirkan dalam wawancara teman secara terpisah. Pemendekan ini mengajari peneliti dengan susunan dan bunyi pembicaraan. Masih dipebolehkan untuk mengambil banyak penyusunan kata-kata persis gagasan pokok. Kemudian wawancara masing – masing dapat dibawa bersama seolah – olah ketiganya hanya satu, data yang diberikan memungkinkann seorang guru berkata seolah-olah setiap harinya dimana mengajarkan pengalaman, tampaknya daripada memisahkannya ke dalam Seidmen’s (1998) tiga tahap. Cita – cita seharusnya menjelajahi metodologi bahwa menampakkan dan memberikan sifat guru bekerja untuk pelajar – pelajar berbakat, strategy wawancara ini masuk akal.
Data ialah analisis dari proses perbandingan interaktif dan mempertentangkan elemen dari wawancara ke elemen – elemen pengamatan (Krueger & Casey, 2000; Merriam, 1998; Adil, 1995), Patton’s (1990) analisa untuk kasus wawancara membolehkan pengelompokkan kedua jawaban peserta. Penjajaran ini penting karena berbeda bingkai membawa mereka ke ruang mereka; memberikan mereka seperti memiliki kasus yang terpisah antara gambar yang terhubung dan tidak ada pertunjukan. Penjajaran ialah menetapkan kode sekitar bangunan (Patton) : perbedaan, percepatan, akademik, pemerkayaan mahasiswa, dan peningkatan diri. Sedangkan yang diminta disini yaitu mendengarkan yang kemudian menganalisis data.
Analisa adalah proses terus – menerus. Dilain kata, distilasi wawancara segera terjadi, setiap sesuatu selesai ditulis, dan yang ini dibandingkan dengan distilasi – distilasi untuk pengamatan. Misalnya, penerimaan guru A yang menyatakan kedatangannya di sekolah sekarang : “kapan saya memperoleh mufakat disini, bahwa guru disini ingin agar saya menjadi intersif, akademis sehari-hari dan kami tidak ingin anak kami di sokong dari kelas bermain. Tapi mereka menghendaki supaya saya mengganti akademik mereka dengan akademik lain”, disini lebarnya konseptualisasi akademik dimana terharu oleh lingkungan sekolah; oleh karena itu tanda dari kerjasama dapat dibedakan. Sekarang adalah waktunya mensejajarkan dengan mengajar sebenarnya (melihat 2 pengamatan) itu menjadi selesai bahwa kode penetapan perlu berganti.
Karenanya beberapa kode darurat (Patton, 1990), membantu mengatur wawancara dan pengamatan data, kategori mereka ke dalam bagian – bagian berikut : perencanaan; mahasiswa terpilih; perbedaan dan kekompakan serta identifikasi mempelajari gaya dan lingkungan. Dengan begitu, tetap ada dan menimbulkan pengertian pengalaman dari dua orang guru ini agar tetap tumbuh.
Itu adalah penting bahwa akhir produk menggambarkan kata itu dan pikiran peserta, oleh sebab itu banyak tempat yang tersedia untuk mereka seorang diri disini. Tidak ada pelajaran penelitian, atau di metode penelitian kualitatif yang manapun, banyak yang lebih penting daripada suara peserta. Cerita mereka diminta, dan oleh sebab itu cerita mereka sebaiknya dikatakan. Karena ini, cek anggota (Janesick, 2000; LeCompte & Schensul, 1999) dipakai baik untuk wawancara maupun pengamatan data. Cek ini memerlukan destilasi peserta wawancara ulang dan pengamatan serta mengomentari ketepatan, kekenyalan, dan isi. Peserta malah iperbolehkan untuk meninjau kembali dan memberi komentar akhir kertas tiruan ini sebelum mematuhi pengumuman.

Peserta – peserta itu.
Kedua guru saling berbagi banyak cirri yang menjadikan mereka guru unggul bagi pelajar – pelajar berbakat. Bersahabat baik, tergugah maupun penuh tenaga dan keahlian (Sisk, 1989) diperlukan di ruang kelas berbakat. Mereka mewakili lebih banyak dari 55 tahun pengalaman mngajar. Masing – masing mendapat gelar Master di pendidikan istimewa atau berbakat; masing – masing di awal posisi karir, berbakat dalam membantu mendirikan program baru yang di dahului daerah sekolah. Pentingnya peranan guru A, sebuah kelas akademik yang dipercepat, yang dipusatkan pada matematika dan sastra bahasa. Guru E mengawasi kelas pemerkaya kreatifitas, dinyalakan disebrang spectrum kurikulum, tetapi tidak sempurna oleh parameternya. Dimana hanya ada kedua guru berbakat di sekolah mereka, dan keduanya bekerja di tempat yang sama, sekolah di Florida tumbuh dengan pesat.
Pada saat pelajaran ini (2003 - 2004), daerah terdiri atas mahasiswa putih sebanyak 60,6%, orang Amerika hitam sebanyak 22,5%, 14,3% Hispanik, 1,1% Asia, dan 1,5% multirasial, sedangkan Negara bagian mempunyai 50,6% Whites, orang Amerika hitam sebanyak 24,1%, 21,0% Hispanik, 2,0% Asia, an 2,3% multirasial. Di daerah dimana guru ini bekerja, tak ada program mngesampingkan pendidikan berbakat menetapkan garis pedoman untuk diikuti daerah luas, dan sekolah disana menawarkan yang menarik ke luar, dapat berdiri sendiri, dan dimasukannya model karena melayani pelajar-pelajar berbakat mereka. Beberapa yang menawarkan model konsultatif, dimana seorang konsultan berbakat mengerjakan dengan guru sekolah yang lebih baik daripada dengan mahasiswa. Beberapa sekolah mendasarkan mereka di tempat servis dalam mempercepat akademik yang diantarkan lewat kurikulum sekolah, sedangkan orang lain membolehkan gurunya yang berbakat mendesainnya atau memprogramnya sendiri, secara gratis dari keterbatasan kurikuler. Pada saat studi ini, guru diruang kelas dasar dimana mereka memimpin menarik keluar program pembelajaran berbakat, meskipun guru A mempunyai peranan penting terhadap suatu kejadian sebuah ruang kelas berbakat yang berdiri sendiri, beberapa orang di tahun sebelumnya.
Untuk guru di pelajaran ini, mahasiswa tiba di ruang kelas mereka beberapa waktu berbeda minggu, disesuaikan dengan batas jadwal didikan oleh mereka dan wali kelas. Secara umum ini sama dengan ke 7.5 jam – jam waktu kontak seminggu, per mahasiswa bagi guru A, dan sekitar 6 jam seminggu, per mahasiswa untuk guru E.
Guru A bertanggung jawab atas mengajar sastra bahasa dan matematika untuk bakat pertama dan melalui lima penilai; tambahan, baru – baru ini memperkenalkan dan melayani dua yang sangat berbakat di taman kanak – kanak sebagai perkenalan untuk programnya. Mahasiswa dikelasnya menerima angka untuk seluruh karya akademis mereka, dan mereka pelu memelihara derajat tertentu, janji dan prestasi untuk tetap di programnya. Selama masa wawancara dan pengamatan saya, dua orang mahasiswa diberhentikan dari program. Sekolahnya hanya mempunyai pendaftaran diatas 400 pelajar – 58% putih, 27% Amerika hitam, 10% hispanik, 2% Asia dan 3% multirasial – dan yaitu satu taman kanak – kanak terakhir lewat 5 tingkat angka lingkungan sekolah di daerah. Tidak seperti sekolaah guru E, yang mana mahasiswa naik bis dari jauh, mahasiswa di sekolah guru A tinggal di dekat. Bagi guru A, melayani pembelajaran berbakat di program akademis bermaksud mengantarkan hal yang bersifat umum dari kurikulum sekolah, gagasan dan meningkatkan tantangan dan kekerasan, seringkali diantara 2 atau 3 level diatas tingkat kelas meraka berdiri.
Guru E mempunyai pendaftaran sekolah sebanyak hampir 650 orang mahasiswa : 70% putih, 18% Amerika hitam, 6% hispanik, 5% Asia dan 1% multirasial. Dia melayani mahasiswa dari pertama lewat 5 tingkat angka di spectrum luas subyek dan topic. Sebagai menuntut diri, menarik keluar pemerkayaan guru, dia melihat sebagai cita – citanya kekumpulan semangat dibawah mahasiswanya dan menyuruh mereka untuk menjelajahi disisi yang lain tembok ruang kelas dan batasan – batasan kurikulum. Dia tidak diperlukan untuk mengikuti sekolah kuikulum, atau dia mempunyai untuk pencocokan diri dia dengan mengajar bidang subjek inti yang manapun. Ketika dia membedakan perhatian mahasiswa, dia bebas menjelajahi bahwa banyak sekali cara dan tema tahu penuh yang bertahan panjang membantu mengatur belajar bahwa belajar itu cukup sering, melahirkan mahasiswa. Sebagai seorang guru pemerkaya, dia melihat sebagai tugasnya untuk memperdalam pengejaran pembelajaran pengetahuan sedangkan secara bersamaan memperluas jangkauan siap daya cipta, menemukan bahan yang asli. Saat tantangan dia membawa akselerasi ke mahasiswanya, dia tidak memberikan kelas tapi hampir saja berbicara dengan kedua orangtua mahasiswanya.

Hasil – Hasil
Hasil yang diberikan disini termasuk tiga pengamatan latihan dan perkataan guru yang digabungkan dari ketiga wawancara, secara pengaturan tema di beberapa kasus, saat dari wawancara digabungkan dengan pengamatan ruang kelas, menghubugkan pemikiran dan perbuatan. Karenanya, mengingat dialog dari pengamatan, tercatat dan terbuatnya dialog. Dengan kata lain pengamatan ini ialahcerita fiksi (Wolcott, 1999) untuk membolehkan lebih banyak memusatkan pikiran pada maksud pelajaran dan guru. Ini tidak juga berarti apa yang diberikan disini tidak terjadi. Kebalikannya, semua peristiwa di masing – masing pengamatan terjadi di ruang kelas guru A, meskipun guru tertentu/penukaran mahasiswa sudah mungkin terjadi dalam hari-hari. Disini, cerita fiksi berarti bahwa mahasiswa berbicara dan guru membawakan cerita untuk mengatakan hasil akhir gambaran dan pengalaman guru ini. Wolcott benar masa, tetapi fiksi itu tertinggal di kertas kerjaberucap kejujuran dan mempresentasikan pengalamannya dari pengamatan dan juga memberikan pengertian dari pencariannya dan peserta.

Mempelajari Gaya dan Lingkungan
Karena guru E pensiunan, mustahil mengunjungi ruang kelasnya. Tetapi, kata kolega yang merekomendasikannya untuk pelajaran ini bahwa kamarnya adalah “hidup dengan belajar”. Itu bagus, seorang guru yang menyusun pengalaman belajarnya atas pemerkayaan dan daya cipta mungkin akan visualisasi dan membuat ruang kelas beda daripada seorang guru yang menyusun pengalaman belajarnya pada akademik.
Masih saja, segalanya tentang ruang kelas guru A yang memesan lebih dahulu kekayaan yang sudah pasti membawa mahasiswanya melewati akdemik belaka. Salah satu filsafatnya ialah bahwa waktu mahasiswa mendapat tugas dari mereka melindungi penemuan sendiri dengan mempelajari kesempatan.
Kalau mereka terhanyut dari dalam ruang kelas guru A, mata mereka tidak bisa memandang jauh dengan tidak menjelajahi untuk menarik media. Poster orang terkenal, peta magnetic Negara bagian, contoh system keuanagn, puluhan karya seni yang di ciptakan oleh mahasiswa, skoleksi banyak fosil dan artefak alami, serta buku dalam pandangan hampir ada disetiap jurusan. Mungkin ini adanya respek dari guru A terhadap pemerkaya keduanya dan gambaran dalam mempelajari akademik.
Setiap guru sering berbicara “Pernikahan” akadmik dan pemerkayaan sebagai cita – cita dan bagaimana dibuat masing – masing mereka mempunyai elemen kedua dikesempatan belajar mereka. Masing – masing juga teruji bagamana perkawinan ini tidak terjadi dalam ruang kelas mereka tahu dan sudah terlalu sering naik mobil untuk pertanggung jawaban yang distandarisasi memaksa sekolah untuk berfikir mereka memerlukan sesuatu atau yang lain, tidak keduanya.
Guru E : saya mencoba mempunyai ruang kelas yang mengharukan, tak ada yang duduk : interaktif, sama – sama menanggung, hanya tidak pernah duduk bermalas – malasan. Lalu saya dapat ikut perkalian kecerdasan saya dengan semua proyek kami sedang dilakukan. Saya merasa bisa mencapai 9 dari 10 orang anak cara saya ini. Menggunakan tangan dengan dibanyak anak ini penting. Memakai musik sangat penting. Saya memainkan musik terus, dan jika saya lupa menggairahkannya maka mereka mengingatkan saya. Membantu membuat badan terlibat. Sesuatu [proyek sepertiapa yang nampak diruang kelas saya] waktu kami mempunyai aktivitas dimana kami mengambil bahan yang didaur ulang dan kami membangun kota. Anda tahu, anda masuk dengan berbagai macam barang orangtua mereka sudah berkumpul, dan kami membangun kota. Gedung, rumah, jalan, segalanya yang kan menjadi sebagian kota, dari bahan yang didaur ulang. Saya hanya melakukan yang satu ini.
Guru A adalah seorang pnggemar berat daya cipta Renzulli’s dan gagasan janji tugas. Saya suka akan hal itu, tetapi saya juga berat di produk. Kami mengukur tetapi kami juga belajar tergesa – gesa di isi, tetapi karena saya bekerj dengan anak yang melumpuhkan belajar panjangnya usia, saya sangat focus diproses dan baimana orang belajar ketrampilan. Oleh sebab itu saya berusaha menemukan di luar bagaimana masing – masing anak belajar efisien. Beberapa anak bisa berkembang sangat berbeda jenis perasaan tetang gaya belajar mereka sendiri dan baimana mereka diperlukan. Pergi, dan perapian mengental dibawah ini oleh sebab itu mereka mau pergi kesana.

Perencanaan
Kedua guru menetapkan perencanaan sangat tinggi di atas daftar mereka dalam berlatih untuk keberhasilan. Masih, kedua mempunyai gambar yang sangat berbeda karena merencanakan kerja mereka. Sesuatu micromanages, terlihat di kelasnya seminggu pada waktu yang sama, sedangkan yang lain datang di merencanakan dari posisi macromanaging, penumpukan di seluruh tahun itu. Pilihan ini kelihatannya terdapat dari visi mereka mempunyai tugas mereka, dengan makro-manajer fokus atas tugas holistik berkembang kreatif, kritis, dan memperkaya aspek belajar baginya mahasiswa simultan, sedangkan mikro-manajer melihat yang aspek itu sama secara mandiri dibangun lewat tantangan akademis. Dalam dua pandangan ini, tetapi, masing-masing melihat itu perlu memasukkan organisator grafis ke dalam perencanaan mereka untuk menolong mahasiswa mereka memusatkan pikiran pada tugas di tangan.
Meskipun bwertahun – tahun mereka bekerja sbagai guru, keduanya secara terus – menerus pada tahap bentuk mengajar, itu tidak benar tidak pernah ada rencana atu proses akan berjalan bagi setiap pelajar atau setiap guru. Dan, pengembalian apa yang dilakukan oleh mereka di dalam kelas-unit, pelajar maupun dasar kerja sehari – hari. Jadi, mereka selalu menciptakan kembali sendiri. Seperti itu awal penemuan sampai mencapai berhasil lebih mudah disimpan mereka dan memebolehkan mereka berkarir panjang samapi masih merasa bergairah.
Guru A : saya menentukan minggu ini saya di malam minggu, sampai merencanakan aktivitas dan berkesempatan belajar, dan sehari – hari saya memperbaharui, sampai mencapai hari keberhasilan. Saya tiba di sekolah 45 menit sebelum waktu kontrak, ini adalah sejenis waktunya diam bagi saya untuk menumpukkan dan mendapat hari dimana saya merasa siap. Kelas saya dimulai 15 menit pada saat cuaca panas, dan lalu 15 atau 20 menit mnunjukkan aktivitas bahasa, yang mungkin induktif maupun deduktif berkeputusan pelajaran, dan lalu 15 menit penguatan.
Guru E: perencanaan keadaan renacana besar saya melibatkan tema besar selama tahun penuh. Tema ini diambil dari jenis - jenis mencurahkan gagasan-gagasan di musim semi tahunan selama tahun berikutnya. Isu besar mereka: bepergian, air, misteri, waktu, membahayakan spesies, kamu tahu. Lebih musim panas saya akan mulai mengangkat barang dan menaruhnya di sebuah kotak besar. Setiap tahun berbeda, and saya mesti menulis kurikulum saya sendiri. [dalam tahun] saya menemukan, meskipun, bahwa bisa dilakukan saya cukup baik di 3 minggu tambahan, memaksa kesatuan-kesatuan dan rencana-rencana saya berselang-seling disitu ada bingkai waktu. Tentu saja, saya tidak pernah dapat tema ulangan di pergiliran 5 tahun, sejak dimana semua anak berhati-hati sekaligus.
Guru A : saya mengisi muatan Senin, Selasa, dan rabu [dengan kerja] dan menjadi cerah Kamis dan Jumat. Dalam mengukur waktu saya akan memberi [mahasiswa] tugas akhir minggu di Senin dan membiarkan mereka mengutamakan kerja mereka sendiri untuk minggu. Saya akan menaruh [pilihan ini] di dewan. Saya berusaha mempunyai penemuan yang berbeda metode untuk penyelenggara kerja karena saya tahu benar cara saya, meskipun bekerja untuk saya, mungkin tidak bekerja untuk semuanya.
Guru E: salah satu tugas yang harus saya lakukan setiap hari ialah mengatur di dewan di mana masing-masing anak mempunyai ke pada masa hari yang mana. Dilakukan saya bahwa untuk kebaikan saya, tapi anak berpikir hebat: Mereka tidak mempunyai pemikirkan kearah situ atas dasar sehari-hari.
Guru E: tantangan adalah banyak, tetapi tahun sewaktu satu studi penuh membuatkannya cara baik untuk rencana. Membolehkan saya untuk menaruh ke dalam kurikulum sekarang seperti logika deduktif yang berpikir yang kritis. Setiap hari mempunyai beberapa aspek berpikir, daya cipta, dan tema dari tahun. Dan, kami akan mencoba mengintegrasikan mereka agar besama-sama, sama sekali tanpa satupun aktivitas adalah sesuatu saja memisahkan.
Pengamatan dari latihan pertama.
Guru A bekerja, selama berhari-hari dari pelajaran ini, memusatkan sebagian besar pikiran pada ilmu yang pasti, oleh sebab itu pengamatan disini akan mrnggambarkan pertempuran ini. Ini pengamatan pertama termasuk kemampuan guru A :
a. untuk menarik perseorangan bekerja dari metode kelompok, dan.
b. Untuk menyemangati mahasiswa agar berpikir diluar jangkauan biasa mereka
Dengan kata lain, dia membedakan dan tantangan. Ada juga pengertian disini untuk memadatkan, karena aktivitas, jika benar – benar sukses mahasiswa akan diperbolehkan bolos dari beberapa penggunaan di buku matematika itu.
Enam mahasiswa berdiri di dewan, kapur ditangan,saat menyaksikan sesuatu dari tempat duduk hanya jauh 4 kaki. Keenamnya dibagi ke dalam dua tim sebanyak tiga, dan masing – masing tim punya tugas berbeda. Kelompok A mesti mendaftarkan nomor terbaik antara 1 – 100, seangkan kelompok B mesti condong ke nomor campuaran. Satu orang mahasiswa itu menonton, walaupun walaupun dia tidak terlalu mengenal tugas awalnya ini, mempunya untuk menerangkan kepada kelas apa saja perbedaan nomr terbaik dan kombinasi ini. Tugasnya untuk tugas ini karena tidak mengajukan pekerjaan rumah di malam itu terlebih dahulu. Dia duduk, menonton dan mendengarkan lebih dulu agak terlupa ke proses yang utuh – saat teman sekelas dia berunding, bercabang menatap kelompok yang lain bekerja dan menulis nomor mereka di dewan. Sedangkan semua itu, Guru a menyaksikan berjalan membelakangi dan I belakang tim – tim.
Kedua tim, menyediakan berbicara dengan masing – masing yang lebih mudah, memandang mata satu sama lain dan bertanya dengan kesar, “ yaitu 31 gambar?” mereka akan membagi beberapa orang nomor yang dipertanyakan mereka dan lalu tempt mereka, atau tidak, di atas daftar mereka. Waktu mereka di tentang yaitu kemungkinan mengeksplor 51 itu mungkin terbaik, guru A berbicara kepada mereka : “bilangan prima kelompok membeku dilakukan”, mereka dan selama sedetik oleh sebab itu melakukan kelompok kombinasi. Petunujuk dia sering dipakai, dan mendapat perhatian mahasiswa.
“Anda punya hak melihat dan mencontoh yang manapun dengan nomor anda? ” kepalanya menganguk dan matanya menangkap masing – masing orang melihat sekilas. “jadi, apa ada sesuatu yang dapat anda katakana tentang nomor anda?”
Roger berbicara pertama. “Tak banyak diantara mereka, dan kamu mesti berhati – hati akan merindukan beberapa”.
“Tapi apakah kamu memperhatikan tentang kebersamaan mereka semua?” guru A bertanya.
Alice ragu – ragu dan mengulur – ngulur, mengatakan setiap kalimat dengan tergesa – gesa “semua bilangan ganjil mereka ada”. Kawan seregu dia mengangguk sebagai tanda setuju dan Roger memandang kearah dewan seolah – olah untuk konfirmasi.
“Jadi, apa kelebihan saya,” guru A melanjutkan, Alice memberikan respon dengan menganguk, “ mengapa kamu mempunyai 38 diatas daftar kamu.” Semua kelompok melihat nomor itu dan dengan cepat Cathy seorang gadis pirang yang kurus menuliskan nomor dipapan di bawah bingkai pembagi dan menaruh dua pembagi di luar itu; dan dia segera punya 19 angka tertinggi. Roger menaruh sebuah garis lewat 38, kemudian itu dihapus.
“Dan apa kami tahu tentang semua nomor-nomor datar?” guru A bertanya.
Lalu disana ada yang berkata dengan memberikan respon kemudian menaruh garis lewat 34 dan 2. Guru A menyemangati mereka untuk terus berusaha tetapi memberitahu mereka untuk tetap berhati – hati membawa semua tugas mereka.
Dia mengalihkan perhatian gabungan itu, siapa yang mempunyai daftar mereka yang hampir selesai, dia bertanya kepada mereka. Jika mereka punya letakkanlah disebelah kanan dewan “kami yakin” mereka berbicara membelakangi, hampir serempak, dengan memakai frase yang sangat biasa di kelas guru A. Pada saat mencapai akhir dari gabungan kepuasan hati mereka sendiri, guru A meminta mereka mengambil tempat duduk, saat sedang menyediakan tugas akhir mereka.
Roger disarankan ke kawan seregunya hanya untuk melihat daftar kombinasi mereka dan hanya pengganti dari apa yang di tinggalkkan mereka di luar.
“Barusan kamu mengatakan bahwa kamu lebih percaya pada gabungan yang lebih pintar dari kamu?” Tanya guru A.
“Tidak”, Roger dengan cepat menjawab dan fokus kembali menyediakan itu, sepengetahuannya bahwa nada bicara dari guru itu adalah dia sukses dalam strategi yang baik.
Setelah menyediakan yang terakhir, guru A bertanya pada salah satu penonton bagaimana gambaran dari tugas yang diterangkannya dan gabungan nomor yang berbeda. Dia ragu – ragu dan kaku untuk melihat daftar itu, tetapi dia tidak bisa memberikan jawaban. “kamu sudah berada ditengah – tengah dua tim ini untuk menjaga 10 menit terakhir dan kamu tidak bisa mengatakan kepada saya apa yang mereka gambarkan di luar? Coba kamu perhatikan?” tidak ada suara kasar, tetapi berupa teguran keras.
“Iya, tapi”, dia berhenti sebentar, dia melihatnya dan papan itu secara bersamaan “itu tidak begitu mudah”.
“tentu saya pikir juga kamu punya banyak pertanyaan. Michael, kamu bisa katakan padaku tentang keadaan itu?”
Michael melihat bentuk garisnya cukup jelas dan gabungan nomor itu, guru A membawa kelas itu untuk lebih kompak dari nomor yang mereka miliki, Kelompok itu hanya menyebutkan jumlah daftar mereka. Dengan begitu ada sebagian dari beberapa nomor terhalang 2 atau 49 dituntut salah stu dari kedua kelompok; dan dari beberapa kelompok mengatakan : 51, 75 maupun 85. Guru A mempunyai wakil disetiap kelompok dan penonton, yang menerima untuk memeriksa nomor – nomor itu. Menggunakan syarat – syarat dari kelompok dan kemudian menempatkan kelompok dengan benar diatas daftar.
Lalu datang guru A bertanya besar : “mengapa kami harus peduli? Mengapa akan zat itu jika kami tahu terbaik dan kombinasi nomor?” jawaban mengagumkan: “sebab didunia kamu akan benar-benar memerlukan mereka. ” “karean anda mungkin mempunyai pekerjaan yang mengharuskan anda mengenal mereka. ” “karena mereka akan ikut naik di [negara bagian menguji]. ”dengan jelas mereka sudah jatuh ke dalam kemahasiswaan.
Guru A menghentikan mereka. “tunggu semenit. Saya ingin beberapa jawaban nyata di sini. cepat katakan dari toko saya akan datang ke rumah, dan saya mempunyai saku penuh uang kembalian. . . 79 sen. Dan, cepat katakan saya mau memilah uang itu ke atas secara berimbang di antara saya dan dua orang saudara perempuan saya. Saya bisa?” dia melihat pemandangan di kelasnya mereka telah membuat daftar untuk dewan. “apakah jika seorang di antara saudara perempuan saya diyakinkan bahwa saya bisa membagi uang secara berimbang di antaranya?” mereka akan goncangan kepala mereka dan melihat setiap persetujuan yang lain.”suatu saat itu akan hanya membantu beberapa dasar pengetahuan dari beberapa ide secara matematis kamu dapat membuat keputusan dengan mudah.”
Guru A kelihatannya selalu kerja berpindah kembali dan seterusnya fokus dari individu kepada kelompok. Kapan-kapan kelompok adalah atu set anak yang disusun kecil, dan kadang-kadang juga kelas utuh. Dengan begitu belajar adalah pengalaman sosial yang dibagikan, tetapi juga tantangan pribadi. Lebih sering daripada tidak, yang pribadi menerima prioritas akademik lebih.
Beberapa dari anaknya hiper-emosional, sering berteriak dalam kurun waktu yang lama. Tetapi, dia sudah pilih untuk tidak membuat kelakuan itu “waktu berlalu” melukai perasaan, sebagai dia tidak mau memberikan konotasi negatif kepada cabikan atau emotional jawaban. Tampaknya, mereka sedang bekerja di isu-isu ini, membicarakan perasaan mengharukan di kelasnya. Mahasiswa- mahasiswa sedang berbagi cerita dengan mahasiswa untuk mengerti jawaban dasr manusia ke situasi pemaksaan.

Pilihan Mahasiswa dan Keterlibatan.
Mendapatkan mahasiswa untuk memperdalam pengertian pengembangan dari topik yang logatnya signifikan secara umum memerlukan bahwa mahasiswa itu boleh membuat beberapa keputusan sekitar pelajaran mereka dan bagaimana mereka belajarnya (Stone-Wiske, 1998). Memerlukan bahwa mahasiswa dapat pilih dan dilibatkan di pola yang sama. Kedua guru memudahkan mahasiswa-berada ditengah ruang kelas, di mana mahasiswa diberikan masukan banyak untuk mengatakan tentang alam pendidikan mereka itu. Waktu dan sumber penghasilannya asalkan saja untuk eksplorasi bebas, dan mahasiswa diberikan wewenang untuk mengambil belajar ke dalam tangan dan pikiran mereka sendiri. Tampaknya, di kesamaan ini pun, perbedaan tentang latihan tugas bisa dilihat. Sedangkan mahasiswa mendapaat tawaran kesempatan baik untuk memilih proyek dan produk, proses melaui seleksi itu terjadi bisa cukup berbeda. Guru memperjelas dalam mempunyai pilihan bagaimana membawa pilihan itu mereka yang terpilih ke dalam ruang kelas itu.
Guru E: Pilihan sangat penting untuk jenis - jenis berbakat; yang terpilih harus di sana. Jika mereka akan melakukan penelitian, mereka harus mempunyai pilihan apa yang menjadi penelitian semua cara itu jenis produk apa yang akan mereka menggunakan untuk sekarang ini. Kadang-kadang yang ini akan menjadi pilihan dari parameter saya; kadang-kadang mereka akan membuka dan pilihan bebas. Itu adalah cara anak untuk menang, tetapi itu juga cara untuk menguatkan mereka, oleh sebab itu sangat penting untuk melakukannya. Tenaga gerak kelas kadang-kadang menentukan dalam pilihan anak.
Guru A: Hingga memasukkan pilihan di kurikulum, saya mengajar membaca dan matematika, yang[di sekolah saya]adalah lebih banyak kurikulum yang didorong, oleh sebab itu beberapa aspek tidak mudah terpilih. Mahasiswa mendapat beberapa kesempatan waktu bebas yang bergantung pada kualitas jurnal mereka. Jika angka mengeja mereka menjadi cukup tinggi, mereka mendapat lebih sedikit tugas seminggu. Oleh sebab itu, saya membolehkan mereka pilihan yang berjalan terhadap akibat. Mereka bisa pilih untuk mengerjakan PR mereka [di kelas] pada Jumat, atau mereka bisa tahan di rumah dan mempunyai waktu luang pada Jumat. Waktu saya melakukan penelitian dengan penilaian pertama, saya selalu mulai dengan curah-gagasan atas topik dan kemungkinan. Lalu mereka harus memilih topik mereka sendiri dalam topik yang lebih luas. Mereka juga, di proyek penelitian, bisa pilih sepanjang Bloom’s taksonomi atau di kecerdasan lipat ganda sebagai ke bagaimana mereka akan menimbulkan penelitian mereka kalau selesai.
Guru A: saya selalu membolehkan, di semester pertama, belajardari diri sendiri. Mereka bisa berdiri sendiri mendapatkan tugas mereka, memilih diri, dan saya akan berhitung untuk angka. Sekarang harus sebelum disetujui dan kami perlu tanggal ditentukan, oleh sebab itu serupa seperti proyek studi mandiri, tetapi mereka membolehkan itu jika mereka ingin. Mereka menulis cerita, atau mereka melakukan proyek ilmu pengetahuan, apa pernah mereka ingin untk melakukan, dan anak yang memotivasi diri bisa melakukan banyak. Jadi pintu itu tidak pernah ditutup ke apa saja.

Pengamatan dari latihan ke dua
Beberapa pelajaran kelihatannya mempunyai perangko “disana, itu dilakukan” pada mereka, begitu malah mahasiswa yang tidak pernah terlibat dalam kesempatan belajar ini yang khusus tugas akhir itu menjemukan. Pengamatan berikutnya ini menggambarkan cara unyuk berurusan dengan pelajaran ini sedangkan sekaligus cara pertunujukan yang menarik memadatkan informasi tertentu. Memperhatikan, juga bagaimana dialamatkan oleh pelajaran dan melahirkan strategimetacognitive di pembelajar.
Pelajaran sudah diantarkan agak berlainan dari pelajaran lain, bahwa di yang satu ini mulai dari buku dan bergerak ke beberapa lamaran. Guru A mengatakan bahwa kelompok mereka itu mungkin memahami perbedaan dalam bagaimana dengan cepat mereka menangkap topik dengan pendekatan baru ini. Mahasiswa itu , 8 kelima penilai, sedang belajar bercabang oleh 10s, 100s, dan 1,000s dengan memindahkan titik desimal ke sebelah kiri bergantung pada jumlah nol di pembagi. Setelah sedikit latihan, nada berganti.

“Apa anda mau meneruskan contoh halaman berikutnya, atau apakah kami dipenuhi halaman?” Tanya Guru A.
“Dengung, dengung, dihalaman mendengung,” beberapa suara berbicara bebas. “nyayian itu menyita perhatian,” guru A saya dikembalikan, melepaskan pandangannya sampai bidang lain di kamar. Suara surut untuk meredakan. “OK, oleh sebab itu yang mau mengebel halaman ini?”
Lima tangan ke atas, tiga bulu burung: Mereka mengebel halaman. Mendengung adalah cara bagi guru A untuk pemadatan menyediakan kurikulum dengan membiarkan contoh latihan dipunyai yang sama di seluruh kamar secara acak. Jika, atau hari ini waktu, tiga dengungan terjadi—di salah jawaban mendapat dengung—itu penuh halaman keperluan contoh untuk diselesaikan oleh masing-masing mahasiswa secara terpisah. Tetapi, jika kumpulan penuh contoh itu ialah akhir tanpa tiga dengungan, masing-masing mahasiswa mendapat angka sempurna untuk pelajaran itu. Sebagai baru-baru ini seterakhir minggu, kata guru A kepada saya, 12 halaman dari mulai bekerja dimana mengoreksi dengungan.
“Memindahkan hal itu, khususnya waktu saya bagus pasti mereka bermaksud mendapat pelajaran. Disana tak ada keperluan untuk membuat mereka melakukan penuh halaman terpisah,” katanya kepada saya. Sebagai saya menonton proses, saya bisa melihat bagaimana baik it bekerja. Mahasiswa sedang mendukung satu sama lain, menganguk dan menggeleng sebagai kata dan mencoba menberikan jawaban untuk teman sekelas mereka. Guru A membolehkan bahwa mahasiswa “selalu bisa berbicara ke luar keras apa mereka memikirkannya,” dan dia akan menolong mereka. Sedikit ekspresif metacognition ini sangat kuat untuk menonton sewaktu memberi yang lain kesempatan mahasiswa di kelas untuk melihat bagaimana kawan sebaya mereka sedang berpikir. Kerapkali guru A mesti mendesak ujian lisan metacognition.
“apa nomor anda?”
“56.9”
“apakah pembagi anda?”
“1,000”
“dan, oleh sebab itu... ?”
“Jadi, dengan satu ribu anda memindahkan tiga titik tempat. ”
“petunjuknya apa?”
“Ah, ke sebelah kiri,” ujung pembelajar muda dia sebagai berbicara, dan lain-lainnya di anggukan izin kelas mereka.
“Dan, oleh sebab itu... ?”
“Tapi, disana tak ada tempat.”
“Dan juga, apakah kami bisa mempelajari untuk ilmu magic kami itu?” guru A meminta tiap orang ini bertanya, dan mengakat tangan, menawarkan satu orang mahasiswa, “kamu bisa menambahkan sebuah nol. ”
Guru A jalan-jalan kembali ke pengerjaan mahasiswa di atas 56,9. “dan, oleh sebab itu... ?”
“jadi itu adalah nol lima enam sembilan... ?”
“tepat sekali. Kerja yang baik.”

Desah keringanan didengar dari kelas, sebagai itu sudah akan ada dengung ketiga. Tetapi, ketika itu tiba, surat, menyenangkan untuk melihat bahwa tak ada erangan kekalahan diberi. Hampir tiap orang di kelas hanya mulai bekerja di halaman itu, suatu pepatah ke luar keras bahwa halaman itu akan mudah dan bahwa mereka sudah mempunyai figur itu di luar. Setelah itu lengkap, kata guru A kepada mahasiswa yang sedang mendapat angka di B atau lebih baik mereka bisa mempunyai waktu luang tetapi di bawah satu B itu perlu mengerjakan kredit ekstra.
Dalam interaksi seperti itu, suara guru A bersahabat serta nada dan kata positif selalau menggunakan berirama. Dia memimpin bagian terbesar berbicaranya dengan individu, meskipun dia juga menyapa kelas sebagai seluruh. Beberapa kali di sana dimana lebih banyak pentingnya teguran dan kalimat keras, meskipun itu jelas bahwa yang ini tidak terlihat sebagai mengalahkan untuk mahasiswa. Di satu kejadian, selama kelima-angka penggunaan matematika, Tracey diminta melakukan delapan masalah – masalah ekstra ke bawah halaman sebagai peringatan lunak bahwa dia ada untuk tidak berbicara bebas sering sedangkan kelas bekerja. Dia tidak pernah mengedipkan mata tetapi meneruskannya bekerja, nyata tahu bahwa dia sudah menyeberang batas.
Itu sangat jelas guru A itu mahasiswa mempunyai pengembangan pengertian baik menujukan diri maupun kerjasama belajar. Mereka mulai diri, mereka menolong orang lain, dan mereka membesarkan hati satu sama lain di setiap belok. Tentu saja, ini tidak terjadi untuk semua, dan beberapa berkeluyuran tempat untuk beberapa orang menit-menit sebelum bekerja dan lalu pergi dan semua anak bekerja—atau sama sekali tak. Sebagian dari kenyamanan ini dengan proses belajar ialah memberikan contoh, ngomong-ngomong tiga orang mahasiswa bertanya kepada saya untuk pertolongan atas masalah matematika. Ada sesuatu tak pasti dari mereka, dan mereka mengenali mereka tidak akan baik tanpa bantuan, dan oleh sebab itu tanya mereka kepada saya. Dua anak ini sudah bekerja dengan seorang kawan sebaya yang mempunyai akhir di hadapan mereka, dan oleh sebab itu mereka sedang bekerja seorang diri.
Mahasiswa berbicara dari satu derajat ke yang berikutnya oleh sebab itu that mereka nanti bisa memimpin gerak-gerik mereka sendiri di atas tangga belajar adalah sesuatu kedua guru ini meraba ke yang tertinggi sampai mengajar pembelajar berbakat. Waktu guru bisa menemukan cara untuk memasukkan semua mahasiswa sedangkan suatu tantangan, pengambilan pelajaran ini agak berbeda perspektif.

Perbedaan, Percepatan, dan Memadatkan
Croft (2003) menyebut perbedaan itu ialah pusat sampai kemampuan yang akan menjadi berhasil guru pembelajar berbakat. Alex (Coleman, 1994) menggunakan beberapa strategi diferensial dalam menujukan Penganut diskusi sokratiknya dengan pembelajar berbakatnya. Dan, tentu saja, percepatan dan memadatkan adalah syarat-syarat yang ada di mana-mana di kesusasteraan. Tetapi, topik ini berada seorang diri kalau disapa di buku teks, sering diberi bab mereka sendiri atau sesi dalam bab. Memberi penerangan pada, lalu, untuk mendengar ini guru berhasil berbicara tentang elemen inti seperti itu, tak pernah menyewakan satu tribun sendiri tetapi selalu membawa 3 ke dalam pengertian diagram Venn.
Dan, pengertian buatan ini: Satu tidak dapat membedakan dengan pantas tanpa memadatkan keduanya dan mempercepat kurikulum. Satu orang mahasiswa akan memerlukan kesempatan ke lompatan pelajaran dan/atau kesatuan-kesatuan karena latar belakangnya dan sebelum pengetahuan, sedangkan lainnya akan memerlukan suatu rangkuman pembukaan untuk membawa titik ke dalam fokus. Tak bergerak ketiga akan perlu angka baik di-dalam pertempuran. Guru di yang berbakat di dalam kelas menjadi perlu memahami semua keperluan ini, menilai mereka dengan semestinya, dan mengantarkan jumlah benar perbedaan, percepatan, dan memadatkan di mana mereka diperlukan. Itu dianggap satu proses mulus. Oleh sebab itu, di sini, prmikiran syarat-syarat muncul, jelas bahwa guru ini tidak benar membedakan ketiga sampai tingkat yang mana pun.
Guru A: Beberapa orang-tua akan mengatakan kepada saya, “Anak saya terlalu mempunyai banyak pekerjaan rumah,” sedangkan orang lain akan mengatakan saya mereka tidak mempunyai cukup waktu. Saya bisa mengatakan kepada mereka, saya menceritakan itu [Johnny] enam kali dia perlu dipusatkan pekerjaan itu di mukanya, dan bahwa dia membuat seleksi terpilih untuk membawa kerja itu ke rumah. Saya mendengar dari orangtua yang keajaiban mengapa anaknya harus melewatkan begitu banyak waktu di atas komputer minggu ini sedangkan keajaiban lain mengapa anaknya tidak mendapatkan waktu untuk itu. Oleh sebab itu, saya mesti tetap melembutkan laju atau gaya pekerjaan belajar mereka dengan kenyataan, ke penemuan sistem yang berjalan oleh sebab itu mereka pergi angka mereka ingin tetapi [bahwa juga] menyimpan tantangan anak.
Guru A: saya juga perlu ke individu dan mengadakan perbedaan bagi masing-masing mahasiswa dan di mana masing-masing anak itu. saya melakukan pengujian surat keterangan ketentuan di sini, membiarkan saya melihat itu [Gloria] mengeja di ketiga-angka rata sedangkan [Ashley] mengeja di kelima-angka rata. Saya memeriksa semua anak ini dan membuat beberapa keputusan, sebagai saya mempunyai untuk menulis EP’s, oleh sebab itu saya bisa figur jika kelompok bisa bekerja dengan baik keempat-angka mengeja, kelima-angka mengeja, karena saya mau mulai ke luar dengan derajat penempatan angka mereka oleh sebab itu mereka bisa mempelajari peraturan, lalu saya mempercepat jalannya. Penilai ketiga saya sebagian besar sedang mengeja di keempat-angka rata, tetapi disana yang membaca banyak lebih baik. Baginya, meskipun, saya mesti menjadi hati-hati karena saya tidak menghendaki supaya dia selalu melakukan kata berbeda karena itu mungkin mengambil waktu luangnya pada Jumat. Oleh sebab itu, saya mempunyai untuk menonton bagaimana itu.
Guru E: Membedakan adalah hal baik seperti itu: beberapa hal lisan, beberapa ditulis, beberapa percakapan. Perkalian dan kecerdasan saya membolehkan seperti itu cara bagus untuk membedakan, sewaktu membolehkan semua yang itu permulaan untuk datang ke sesuatu. Oleh sebab itu, jika kamu sedang bermaksud membentang disana berolok-olok dengan anda perlu mengadakan perbedaan. Saya berusaha ke perbedaan lewat keperluan daripada kekuatan. Tetapi, ini justru membuat [mahasiswa saya] tak enak. Masalah adalah bahwa kebanyakan anak ini datang ke saya karena keberhasilan dari luar biasa mereka di bidang lain, dan meskipun tahu perlu meragukan bidang itu di mana mereka tidak hati-hati juga, sering menjadi sukar bagi mereka ke experience kegagalan kadang-kadang. Oleh sebab itu, mereka sering tidak ingin untuk melakukan hal mereka tahu mereka tidak baik, dan saya mempunyai untuk mendapat mereka untuk berlatih itu dan mengerjakannya.
Guru E: saya akan memadatkan lewat tema, hampir oleh kebutuhan: tema seperti waktu lewat cerita dunia, oleh keperluan alamnya untuk dipadatkan. Apa yang saya dirasa dijalankan cantik baik seharusnya membiarkan certain kelompok-kelompok masuk ke ruang masuk di atas bab khusus and bekerja sebagai tim untuk menutupi bahan. Saya akan mengatakan them bahwa satu kali mereka merasa semuanya bisa menerima tes dan mendapat 90, saya juga membiarkan mereka bergerak ke atas proyek istimewa. Cantik segera bulu burung tumpah ini dan hampir setiap satu mau di kelompok di aula. Saya berarti they mencintainya, di aula tingkat selayaknya mereka peroleh, belajar.
Guru A: Kurikulum memadatkan: dengung mainan adalah satu cara saya melakukan itu. Beberapa akan melakukan satu hari pelajaran dan lalu mengebel halaman dan jika itu kelihatannya untuk menjadikan mereka kami berjalan terus. Itu lebih banyak “mini” memadatkan, saya menebak. Beberapa waktu saya bisa menggunakan 5 menit pelajaran dengan cepat di sesuatu—penghilangan—dan itu cukup karena anak akan dibuka ke yang ini cukup tentang waktu oleh sebab itu mereka akan mendapatnya.
Guru A: saya suka untuk sebelum-menguji tetapi lalu saya membuat keputusan mengenai angka untuk “pertengahan” kelas dan bekerja dari sana. Oleh sebab itu, itu adalah sistem lapangan baseball, tidak mengurangi percepatan.

Pengamatan dari latihan ke tiga
Ini terakhir pengamatan meneruskan fokus di individual tantangan dan kelompok fasilitator. Mahasiswa belajar dengan setiap lain, saling berbagi pengalaman keberhasilan dan kegagalan, dan dari guru mereka, melahirkan perasaan bahwa dengan datang tantangan kadang-kadang kemunduran dan perjuangan pribadi. Tentu, selalu, dan ini penting, hubungan pelajar terjadi dengan guru dan belajar ialah pusat sampai proses. Tanpa hubungan itu, tanpa itu merasa bahwa proses adalah koperasi di antara pelajar – pelajar, sedikit yang ulung. Tetapi, dengannya, malah pertempuran itu mungkin dilihat sebagai kerja guru di belakang menjadi pelajaran interaksi bahwa baik tantangan maupun memotivasi.
Ketiga penilai sedang bekerja di ketrampilan perkalian, perlu menyelesaikan sekelompok sebanyak 11 persamaan di pelajaran daripada 20 detik. Masing-masing boleh waktu untuk bersiap, seperti boleh berlatih dengan seorang mitra “di waktu,” dan masing-masing ditawari kesempatan untuk menjadi “pegawai negeri” diukur waktunya oleh guru A. mereka sudah bisa menunggu sampai berikutnya kelas itu, tetapi masing-masing berdiri dan mengambil beloknya, dan setiap menganjurkan orang lain berusaha sebaik mungkin. Udara ialah dengan kerjasama.
Tetapi, ada juga pengertian sangat hebat individual perhatian yang terjadi secara bersamaan. Guru A Cheryl ke sebelah mejanya untuk mengetahui apa ialah tetap dia dari membuat kerangka 20 detik untuk dia . “saya berbaring sama sekali yang ini ke luar bagi anda dan anda hanya yang ini anda tahu segera dan memberi saya jawaban. ” Tiga teman sekelas menyaksikan sedangkan Cheryl bekerja. “18, ah, 36, 60, 66, dan 24, 12, dan, ah, 30.
“Okay. Oleh sebab itu yang ini adalah setan di gundukan. ” guru A mengatur keempat yang memberi Cheryl kebanyakan kesusahan. Memeperlihatkan itu, gadis rambut keriting memandang gurunya dengan mendorong perhatian. “satu itu,” Guru A mengatakan pembelajar muda, “saya teringat karena sajak. Enam kali delapan adalah,” dan dia berhenti sebentar dan Cheryl berganti di “48.
“saya berpikir anda tahu yang satu itu. kalau menyisihkannya dengan orang lain ini anda menarik diri. ” dia memegang kartu berikutnya. “ini satu mengambil belok berbeda yang kecil dan anda mempunyai untuk memikirkan dua hal sekarang. ” dia berhenti sebentar dan Cheryl melihat tepat ke dia. “sekarang, enam kali dua berapa?” tanya Teacher A.
“dua belas. ”
“jadi anda tahu bahwa jumlah terakhir di sini pergi untuk dua.”dia menunjuk kepada tempat itu di atas kartu. “dan, enam tambah satu berapa?”
“tujuh. ”
“jadi ini menjadi 72,” setelah Guru yang mana dengan cepat menutupi kartu dengan tangannya. “sekarang apa membuat 72?” Cheryl menunjuk ke langit-langit dengan matanya dan mengangkat tangannya bersama di mukanya. “enam, ah, waktu, ah, dua belas.
“Dahsyat.” guru A kemudian membawanya lewat yang lain dua persamaan, 6 x 9 dan 6 x 7, mendirikan dan kostruksi strategi bagi masing-masing dan lalu dia menangkap tiga itu bahwa “setan dari tumpukkan” dan dilakukan kilat api dengan mereka. Cheryl tinggal dengan kecepatan, kekuatan di waktu, tetapi tidak pernah bimbang atau kelihatan kecil hati. Teman sekelas Her berdiri di sana dengannya, dan menyemangatinya to mengambil “pemilihan waktu” dari guru A benar lalu. Mereka menyoraki waktunya ialah 13 detik.

Perancah seperti itu ialah bagian hakiki Guru A ruang kelas. Kemampuannya untuk bergerak dari mahasiswa ke mahasiswa dan mengusulkan jurusan atau pertanyaan baru mengalir keluar dari dia sandiwara. Aliran ini kelihatannya ke melahirkan hasrat di bagian kebanyakan mahasiswanya itu kerja berbeda. Aktivitas non-matematika, waktu satu kelompok hampir berakhir dengan berarti mereka, mereka mengingatkan guru A bahwa ini minggu mereka mempunyai 17 kata dan tak ada yang biasa 15, di sesi meminta lebih banyak kerja. Waktu tes ialah tingkat—they semua mempunyai untuk mendapat 100 untuk mendapat grup tanya —guru A jika mereka “dimana keyakinan” kerja mereka ke yang hampir kekompakan berjawab mendukung “kami yakin.

Diskusi
Sebuah belajar melibatkan dua orang guru patut dicontoh pembelajar berbakat dilakukan untuk menjelajahi dan untuk mengerti metode bahwa bisa menampakkan lebih baik latihan pembelajar berbakat yang mengajar. Beberapa yang pusat pengembangan tentang guru adalah:
1. Mengajar pembelajar berbakat memerlukan guru ke gambaran individu dan kelompok seluruh belajar secara bersamaan.
2. Garis edar orang mengambil untuk menjadi seorang guru pembelajar berbakat berarti: pribadi latar belakang, sebelum latihan, dan pemikiran profesional semua membantu menyiapkan guru untuk tugasnya.
3. Beberapa elemen “peraturan” pendidikan berbakat, sering dilihat sebagai konsep perseorangan, kebiasaan guru istimewa pembelajar berbakat itu.
4. Hubungan seorang guru pembelajar berbakat perkembangan dengan mahasiswanya adalah kunci ke membuka pintu (dan menyebabkan api kebakaran) ke lebih tinggi tantangan, motivasi, dan investasi pribadi atas bagian-bagian mahasiswa itu.

Jelas kepada peneliti ini yang ditolong oleh metode ini ke luar yang ini akhir. Menampakkan specifik dan signifin berlatih di ruang kelas, dan itu mencari intentif dan interpretasi guru, membolehkan pembaca penjajaran apa dilakukan guru dengan apa mereka katakan dilakukan mereka (Wolcott, 1999).

Penelitian seperti ini akan menolong menghasilkan model itu bisa dipergunakan di program yang berjalan untuk bersiap guru - guru untuk ruang kelas berbakat. Pabrik (2003) menonjolkan bahwa “sertifikasi dan latihan resmi di berbakat dan berbakat pendidikan mungkin tidak faktor untuk mempertimbangkan waktu selecting guru pelajar berbakat ” (p. 279), dan ini nampak benar. Baik Pabrik dan lain-lainnya (Hansen & Feldhusen, 1994; Tomlinson et al, 1994) mengusulkan latihan resmi and metodologi. Masih, sedikit model yang ada ke bring metodologi ini untuk menyalakan. Jika model seperti itu ialah more lazim di kesusasteraan kami, dan jika guru dalam berlatih untuk ruang kelas berbakat ialah lebih sering menujukan ke observasi dan guru pengerjaan wawancara pembelajar berbakat, more guru bisa WC umum sampai mengajar kerja sebenarnya pembelajar berbakat meliputi, menyusun mengajar mereka model sangat kuat.
Pelajaran ini mengusulkan pendekatan studi kasus sebagai kebutuhan untuk memperkembangkan model ini. Kemauan metode seperti itu membawa bersama beberapa strategi koleksi data dan “meluaskan” pikiran dan tindakan penting guru terlibat. Sedangkan studi ini hanya ditumpukan di atas dua guru, cukup data dikumpul untuk meramalkan bahwa perkalian penelitian banyak guru lagi akan menolong membangun sebuah data deskripsi itu akan sangat informatif ke bidang itu.
Mematuhi interaksi fokus itu di individual belajar sedangkan secara bersamaan membina sosial pengalaman belajar bisa menjadi cara baik untuk mengerti deep berarti di syarat-syarat yang mengadakan perbedaan, memadatkan, dan mempercepat. Memperbandingkan yang berbeda jenis jenis rencana—jangka panjang, rencana tema, dan mingguan, pelajaran-oleh-rencana pelajaran — dengan melihat bagaimana rencana itu dibuat dan melengkapi konsep yang bagi kebanyakan guru diperoleh melalui latihan di pekerjaan, tidak di tahap persiapan. Memperkokoh bahwa personal pemikiran atas interaksi ruang kelas dengan mahasiswa adalah bagian hakiki mengajar mutu perkembangan professional di pekerjaan menjadi seorang guru sebanyak itu mungkin miss dalam berlatih bahwa tidak melibatkan cotoh model.
Penelitian pada guru keperluan pembelajar berbakat ke film dari bungkus latihan yang ditentukan ke menggambarkan models praktisi. Kami memerlukan sekoleksi data itu menggambarkan guru kami di tindakan. Di studi ini, untuk contoh, kata baik guru bahwa individualiz tantangan kurikulum wajib untuk memotivasi maupun mahasiswa belajar, tetapi adalah benar-benar penjajaran observasi itu bagian pelajaran yang lebih jelas ini pandangan.
Diharapkan bahwa model ini bisa dipandang dan sebanyak banyak di bidang pendidikan berbakat agar teachers pembelajar berbakat di masa mendatang bisa mempunyai koleksi dari kualitas peragawati dari yang untuk menarik selama mereka perkembangan mental melatih.

Rabu, Mei 27, 2009

Resume Buku

MEMBUKA JENDELA PENDIDIKAN


BAGIAN I

PENDIDIKAN ISLAM

ANTARA TUNTUTAN PERUBAHAN SOSIAL

DAN PROBLEMATIKA MODERNITAS

¨ Beberapa Problematika Moderintas

Kecenderungan perkembangan global akibat teknologi informasi ini menimbulkan dua implikasi sekaligus, antara positif dan negatif. Secara positif perkembangan global itu sedikitnya dapat dicirikan kedalam lima hal, yaitu :

  1. Terjadinya pergeseran dari konflik ideologi dan politik kearah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi.
  2. Hubungan antarnegara – bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan kearah saling bergantung.
  3. Batas – batas geografi hampir tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti secara operasional.
  4. Persaingan antar Negara lebih diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi.
  5. Terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistis, efisien dan sekaligus juga tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan.

Sedangkan implikasi negatif perkembangan global memunculkan pribadi – pribadi yang miskin spiritual, menjatuhkan manusia dari makhluk spiritual ke lembah material – individualistis. Proyeksi masa depan manusia adalah ingin mendapatkan kepastian dan kenyataan hidup yang lebih baik dari sekarang ini. Disatu sisi manusia ingin memperoleh kepastian hidup dan kehidupannya, tetapi disisi lain perkembangan global justru menggiring mereka kearah alienasi – sebuah kondisi manusia yang asing dari kesejatian diri dan lingkungannya.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan bagi peningkatan system pendidikan Islam dan kecenderungan masa depan global, yaitu :

  1. Umat Islam harus mampu memanfaatkan sarana teknologi sebagai alat perjuangan (jihad)-nya.
  2. Umat Islam harus terus – menerus meningkatkan SDM yang berkualitas IPTEK & IMTAQ secara bersamaan, atau peningkatan diri kearah kekokohan spiritual, moral dan intelektual.
  3. Proses modernisasi adalah suatu yang meniscayakan bagi perombakan system pendidikan Islam, mulai dari paradigma, konsep, kerangka kerja, sampai evaluasi.

Pada dasarnya semua civitas academika system pendidikan Islam harus memiliki sense of development kearah yang lebih baik, sehingga lembaga pendidikan yang akan menjadi laboratorium masa depan yang harmoni.

¨ Penyimpangan Profesionalitas Tenaga Edukatif

Dijaman yang sudah modern ini, pendidikan juga masih dianggap sebagai kekuatan utama dalam komunitas social intuk mengimbangi laju berkembangnya sains dan teknologi. Belum lagi tuntas masalah pengadaan guru, sampai saat ini banyak terjadi problem profesionalitas guru. Apapaun alasanna yang jelas tidak sedikit tenaga guru yang mengajar bidang studi bukan pada vaks – nya ( tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang diterima dibangku kuliah ).

Hal ini bukan berarti guru tersebut tidak akan profesional. Melainkan meragukan profesionalitas pada bidang studi yang bukan pada vaks – nya adalah suatu hal yang wajar. Apalagi biasanya penyimpangan profesionalitas ini terjadi pada guru yang baru ditempatkan. Prkatisnya mereka memegang materi yang dipaksa menguasai saat itu juga, dengan mental yang masih belum stabil dan nafsu yang masih dominan.

Namun sebenarnya tugas guru tidak hanya menguasai materi, bahkan lebih dari itu guru harus profesional dalam membentuk kepribadian siswa (mendidik) yang notabene-nya guru harus mampu secara psikis memahami bidang studi yang dipeganginya dari mengerti, memahami, sampai bagaimana mnyikapinya.

Ada tiga ciri dasar yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk melihat bahwa suatu pekerjaan dilakukan secara profesional dan etos kerja yang tinggi, yaitu :

1. Keinginan untuk menjunjung tinggi mutu pekerjaan.

2. Menjaga diri dalam melaksanakan pekerjaan.

3. Keinginan untuk memberikan layanan kepada masyarakat, khususnya peserta didik, melalui kerja profesional yang baik.

Karena eksisteni guru dalam perspektif kependidikan Islam adalah orang yang memiliki karakteristik, maka karakteristik tersebut yaitu :

a. Komitmen terhadap profesionalitas, mutu proses dan hasil kerja melekata pada dirinya sikap dedikatif dan perbaikan yang terus – menerus.

b. Menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, baik secara teoretis maupun praksis.

c. Mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu bekreasi, mengatur dan memelihara kreasi itu bagi kemanfaatan diri, masyarakat dan alam sekitarnya.

d. Mampu menjadikan dirinya sebagai model, pusat anutan teladan, dan konsultan bagi peserta didik.

e. Mampu bertanggung jawab dalam membangun peradaban di masa depan.

Dari visi manapun dan dalam dimensi apapun penyimpangan profesionalitas akan merugikan. Kebijaksanaan yang memelihara penyimpangan profesionalitas adalah garapan spekulatif yang hanya akan menghapus harapan tercapai tujuan pendidikan itu sendiri. Tentunya masih perlu pemikiran – pemikiran kreatif dan orang –orang yang idealis yang mampu mendongkrak citra kependidikan kita kearah yang semakin profesional.

¨ Pendidikan Sebagai Jendela Masa Depan

Hidup adalah keberadaan sesuatu dalam kondisi yang memungkinkan melaksanakan fungsi – fungsi yang dituntut darinya. Yang dituntut dari fungsi manusia didalam kehidupan kiranya tidak dapat dilepaskan dari kemampuan yang dimiliki seperti kemahiran, keahlian, dan keterampilan.

Tetapi hidup dan kehidupan terkadang tidaklah seperti yang dibayangkan. Sebab, hidup juga pilihan – pilihan yang membutuhkan keacakapan. Hidup harus diperjuangkan dan merelakan diri untuk berkorban. “berani hidup berarti berani beresiko”, yaitu agar manusia memahami ujian – ujian dan sekaligus konsekuensi hidup baik yang ada dibawah kendali resiko maupun diluar pertimbangan logika.

Jadi, pada dasarnya gaya hidup seseorang bergantumg pada kemampuan kualitatif yang dimiliki khususnya pendidikan. Pendidikan merupakan jendela pembuka bagi mimpi – mimpi dan cita – cita seseorang didalam menjalani hidupnya. Secara sosiologis pendidikan memeberikan amunisi memasuki masa depan, juga memiliki hubungan dialektikal dengan transformasi social – masyarakat.

Sebagai kerangka mobilitas sosial, ilmu pengetahuan atau sains telah menemukan cara – cara mengubah satu bentuk energi ke bentuik lainnya, lebih praktis, pragmatis dan lebih berdaya guna bagi kehidupan manusia. Berbagai kemajuan sains dan teknologi di dalam kehidupan masyarakat dapat dirumuskan dalam kearngka paling mendasar sifatnya yaitu bahwa sains itu tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan. Pendidikanlah yang meneruskan sejumlah pengetahuan dari generasi ke generasi sesuai kebutuhan masyarakat. Pendidikan hadir menyapa manusia untuk mengetahui sesuatu, baik mengenai lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya.

Kiranya masyarakat sepakat bahwa pendidikan merupakan sarana mengubah masa depan, pendidikan di yakini sebagai amunisi yang mampu memberikan kemampuan teknologis, fungsional, informatif dan terbuka bagi pilihan utama masyarakat. Pendidikan dipersepsikan sebagai wahana bagi tumbuhnya daya kritis, kreatif, akar kecerdasan personal, sosial dan kemanusiaan di tengah – tengah pluralisme. Jadi sudah jelaslah bahwa sudah seharusnya kita terus tetap belajar selama hidup kita, karena dengan belajar semua menjadi mungkin dan kebebasan memilih menjadi lebih terbuka bagi munculnya alternatif masa depan yang lebih baik.

Menggagas Academic Exellence Sistem Pendidikan Islam

Akomodasi integratif antara ilmu agama dan ilmu umum ini kemudian menjadikan pendidikan system madrasah sebagai academic excellence yaitu keunggulan dibidang keilmuan. Kompetensi lulusan madrasah ddiharapkan tidak hanya hafal kaidah – kaidah keagamaan tetapi juga profeional di dalam mengelola sains dan teknologi modern. Alumni madrasah diasumsikan bukan semata masuk bidang pendidikan dan dakwah yang berkonotasi tradisional tatapi juga bagaimana mampu memasuki dunia profesional modern.

Untuk menuju academic excellence diperlukan pembenahan secara simultan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan yaitu manajemen, kurikulum, orientasi layanan, dan evaluasi. Dan yang jelas di dalam penyusunan kurikulum kependidikan harus diperhatikan secara seksama proses pertimbangan antara aspek global, nasional dan local.

Yang paling penting bagi pembangunan academic excellence di dalam kepemimpinan dan proses pembelajaraan adalah orientasi system layanan, pembangunan kultur/budaya sebagai jiwa yang memberikan kesadaran dan makna kependidikan, pembelajaran kolaboratif yang mendorong terbentuknya suasana kebersamaan dan saling mendukung, dan evaluasi berkesinambungan sehingga demikian membentuk civic culture dan sosial learning sebagaimana diharapkan.



BAGIAN II

PENDIDIKAN ISLAM

MERAWAT TRADISI DAN MEMBANGUN

INTEGRASI KEILMUAN

¨ Reposisi Pesantren Dalam Konstruksi Sistem Pendidikan Islam

Pesantren adalah model lembaga pendidikan islam pertama yang mendukung kelangsungan system pendidikan nasional. Secara histories, pesantren tidak saja mengandung makna keislaman tetapi juga keaslian Indonesia. Sejarah perkembangan pesantren telah memainkan peran dan sekaligus konstribusi penting dalam sejarah pembangunan Indonesia. Pesantren merupakan suatu lembaga yang berfungsi menyebarkan agama Islam dan mengadakan perubahan masyarakat kearah yang lebih baik.

Dewasa ini pandangan masyarakat umum terhadap dunia pesantren dapat dibedakan menjadi dua macam :

1. Masyarakat yang menyangsikan exsistensi dan relevansi lembaga pesantren unutuk menyongsong masa depan.

2. Masyarakat yang menaruh perhatian dan sekaligus harapan bahwa pesantren merupakan alternative model pendidikan Islam masa depan.

Geneologi Ideologis Pesantren

Geneologi ideologis pesantren sebenarnya biasa dirujuk kepada sejarah tumbuh dan berkembangnya pesantren yang cukup panjang. Pesantren sebagai salah satu wujud entitas budaya bangsa maupun mempertahankan diri ditengah - tengah kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan global sepanjang jaman.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pesantren sebagai model pendidikan merupakan “proses pelarutan” sistem pendidikan Islam di Timur Tengah dan sekolah Hindu-Budha di Jawa. Sistem pendidikan pesantren disamping menyerap elemen - elemen yang ada pada sistem pendidikan Islam di Timur Tengah, juga menyerap elemen - elemen sistem pendidikan dan keagamaan Hindu-Budha. Melalui modifikasi dari waktu ke waktu akhirnya ditemukan model pesantren sebagai system pendidikan Islam yang sesuai dengan budaya Jawa.

Nilai-nilai Pesantren

Pada dasarnya Pesantren di bangun atas keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu. Yaitu, komunitas santri yang ingin menimba ilmu sebagai bekal hidup dan komunitas kiai/guru yang ingin mengajarkan ilmu dan pengalamannya secara ikhlas. Kiai dan santri hidup disatu tempat yang berlandaskan nilai-nilai Islam yang dilengkapi dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan sendiri.

Selain dua nilai diatas, exsistensi pesantren menjadi kokoh karena di jiwai oleh keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, kebebasan dan ukhuwa Islamiyah.

Paradigma Kependidikan Pesantren

Sampai sekarang masih ada pesantren yang berdiri diatas ideology fiqih-sufistik sebagai paradigma kependidikannya. Paradigma fiqih-sufistik ini menekankan pada pembelajaran yang bersifat teosentris dan memilih budaya hidup askestis, yang secara simbolik diaktualisasikan dengan pola hidup kesederhanaan.

Kelemahan paradigma kependidikan ini adalah tentang pemahaman santri atas Kitab Suci dan Sunnah Nabi cenderung menjadi kaku, finalistik, kurang dan bahkan alergi menerima perkembangan ilmu pengetahuan dan kenyataan yang ada. Kelemahan lain adalah merosotnya lembaga Ulama yang memberikan saham bagi pemecahan persoalan - persoalan kemasyarakatan secara luas.

Karena itu, paradigma kependidikan pesantren khususnya pendidikan agama ini hendaknya diarahkan pada:

a. Dasar pendidikan agama bukanlah upaya untuk mewariskan paham atau pola keagamaan tertentu kepada anak didik, tetapi ditekankan pada proses perolehan kemampuan metodologis untuk memahami kesan pesan dasar yang diajarkan agama.

b. Pendidikan agama tidak terpaku pada romantisme yang berlebihan tetapi lebih diarahkan pada pembentukan kemampuan berpikir objektif dalam menyikapi tantangan kehidupan.

c. Bahan-bahan pengajaran agama hendaknya dapat diintegrasikan dengan penumbuhan sikap kepedulian sosial, dimana anak didik akan terlatih untuk mempersepsikan realitas berdasarkan pemahaman teologi yang diperoleh dari perspektif normatif.

Rumusan kurikulum pendidikan/kependidikan pesantren harus mencerminkan keseimbangan profesional dan proporsional dalam kebutuhan anak didik antara dunia dan akhirat, akal dan kalbu, jasmani dan rohani, potensi diri dan potensi lingkungan. Anak didik diharapkan memiliki tiga kepekaan sekaligus yaitu intelektual, moral dan spiritual.


¨ Gelisah Politik Kiai Pesantren Dalam Perspektif Pendidikan Islam

Pesantren dan politik adalah dua dunia yang berbeda tetapi memiliki kaitan yang erat. Pesantren merupakan media pendidikan bagi anak didik/santri untuk mendalami ilmu-ilmu agama, sedangkan politik adalah media pergulatan orang - orang yang saling berdiskusi untuk memecahkan persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Pesantren dipersepsikan sebagai lembaga yang berada diwilayah sakral, sedangkan politik meruoakan lembaga yang berada diwilayah profane sekalipun identifikasi ini tidak bias dibenarkan seluruhnya.

Gelisah Kiai untuk memasuki dunia politik dewasa ini perlu diapresiasikan secara kritis supaya tidak keluar dari frame semula sebagai pagar moral bagi adega-adegan politik yang cukup berbahaya. Ada beberapa kelemahan jika Kiai memaksakan diri masuk ke dunia politik dilihat dari perspektif pendidikan Islam, yaitu:

    1. Kiai akan mengasingkan diri dan pesantrennya sebagai kekuatan kritik dan control sosial.
    2. Visi intelektual Kiai cepat maupun lambat tereduksi oleh kepentingan politik jangka pendek.
    3. Propfesional Kiai sebagai guru ngaji dan pejabat public sering kali mengacak-acak system birokrasi yang sudah mapan.

Untuk itu sangatlah tepat jika Kiai mampu meredefinisi diri antara sebagai pengasuh pesantren dan pejabat publik dibidang politik. Redefinisi tersebut menjadi penting supaya Kiai dan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan agama dan pengembangan masyarakat tidak menjadi karam karena gelombang politik yang menggiurkan.

Membangun Paradigma Kajian Kitab Kuning

Kitab kuning sampai saat ini masih dianggap sesuatu yang penting bagi system pembelajaran di pesantren – pesantren. Sekalipun perkembangan dan kemajuan teknologi industri memeksa kebanyakan manusia untuk “mengkonsumsi” bacaan – bacaan ilmiah dan kontemporer lainnya, system pengajaran kitab kuning disebagian pesantren belum banyak mengalami perubahan – perubahan, baik menyangkut oreintasi keilmuan, metodologi, maupun kurikulum.

¨ Pengertian Kitab Kuning

Selama ini berkembang terminology mngenai kitab kuning, diantaranya :

à kitab kuning adalah kitab yang ditulis oleh ulama klasik Islam yang secara berkelanjutan dijadikan refensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia.

à Kitab kuning adalah kitab yang ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen” seperti Imam Nawawi dengan kitabnya Marah Labid dan Tafsir Al-Munir.

à Kitab kuning adalah kitab yang ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.

Sedangkan menurut pendapat Azyumardi Azra, berpendapat bahwa kitab kuning adalah kitab – kitab keagamaan beerbahasa Arab, Melayu, Jawa, atau bahasa – bahasa local lain di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab yang selain ditulis oleh ulama di Timur Tengah, juga ditulis oleh ulama Indonesia.

Sebagai sebuah aktivitas intelektual, kitab kuning sebenarnya sudah muncul di Indonesia sejak abad ke-16 M. Pada saat itu kitab kuning merupakan referensi informal untuk mempelajari Islam dengan menggunakan tiga bahasa yaitu Arab, Melayu dan Jawa.

¨ Metode Pengajaran Kitab Kuning

Sampai sekarang ini telah diakui bahwa perubahan – perubahan sistematika di pesantren belum memadai, khususnya dibidang pengajaran kitab kuning belum banyak mengalami perubahan, baik menyangkut orientasi keilmuan, metodologi, maupun kurikulumnya. Adapun kelemahan – kelemahan kajian kitab kuning dipesantren yaitu :

à Dari segi orientasi keilmuannya.

à Dari segi metodologi pengajaran yang dikenal dengan nama sorogan,wetonan, daan khataman, semuanya menampilkan liberalisasi proses pembelajaran.

à Kurikulum dan materi pembelajaran belum dibakukan, dan amsing – masing pesantren mempunyai pilihannya sendiri.

Secara general dapat dilukiskan bahwa persoalan mengenai materi dan metode pembelajaran kitab kuning di pesantren – pesantren adalah :

à Dibakukannya materi kitab kuning, sedemikian kental sehingga tidak memungkinkan adanya penambahan dan pengayaan materi dari yang sudah tertera dalam kitab – kitab literatur sejak terbentuknya ilmu – ilmu tersebut.

à Pembelajaran kitab kuning masih didominasi oleh pendekatan normatif.

Akomodasi secara verifikatif terhadap metode – metode yang ada seperti diskusi, kiranya perlu diapresiasi secara positif bagi kelangsungan dan kesinambungan kajian kitab kuning. Tentunya dengan mempertimbangkan kompetensi masing – masing kiai/guru dan santri/siswa secara profesional dan proposional.

Salafisme Liberalisme Pendidikan Islam

Dibalik keagungan tradisi dan optimisme masyarakat terhadap pesantren ternyata juga menyisakan segumplan kelemahan, yaitu :

§ Aspek kepemimpinan pesantren yang bersifat sentralistik dan hierarkis yang berpusat pada seorang kiai.

Implikasi negatif yang akan timbul oleh kepemimpinan pesantren yang mengedepankan otoritas-sentral kiai yang tidak lepas dari keterbatasan dan kekurangan diantaranya adalah ketidak mampuannya dalam merespons perkembangan-perkembangan masyarakat.

§ Aspek metodologi pembelajaran yang lebih menekankan pada transmisi keilmuan klasik. Transmisi keilmuan yang ada bersama lemahnya aspek metodologis hanya melahirkan penumpukan keilmuan secara bulat dan tidak boleh dibantah. Santri menerima transmisi keilmuan klasik dari kiai, disana tidak diperkenankan adanya dialog dan bantahan oleh santri kepada kiai.

Implikasi negatif dari metodologi pembelajaran satu arah ini adalah lesunya kreativitas santri, santri kurang diberi ruang untuk berkreasi, beraktivitas, dan menyampaikan ide – ide serta mengajukan kitik jika ditemukan kekeliruan dalam pelajaran.

§ Dis-orientasi yakni pesantren kehilangan kemampuan mendefinisikan dan memposisikan dirinya ditengah perubahan realitas sosial yang demikian cepat.

Salafisme pesantren yang menekankan pada pelestarian tradisi dan budaya local kiranya menjadi penyebab utama proses adaptasi itu. Salafisme pesantren merupakan indikasi system pembelajaran yng hanya menekankan pada kajian kitab – kitab klasik Islam dan mengharamkan diri untuk mengkonsumsi ilmu – ilmu yang kontemporer.

Disorientasi keilmuan yang dikemas dengan sutera salafisme pesantren ini hanya menyebabkan mandulnya liberalisasi pendidikan Islam sebagaimana diinginkan oleh spiritualitas wahyu.

Tradisi Pembelajaran yang Tidak Kontekstual

System pembelajaran kitab – kitab klasik yang hanya berorientasi pada teologi- fiqih-sufistik dengan membatasi diri pada mazhab-mazhab tertentu kiranya perlu direvisi. Kajian teologi ini juga perlu dibarengi dengan pembelajaran ilmu logika karena sifat dasar teologi adalah sangat intelektualistik.

Melalui ilmu logika, sntri diharapkan mampu berpikir ilmiah dan rasional ketimbang mengedepankan simbol – simbol yang tidak dijelaskan dengan sepanjang prinsip – prinsip itu. Sekalipun logika rasional dan ilmiah juga menyisakan keterbatasan – keterbatasan dan bersifat tentatif yang selalu siap untuk direvisi sesuai perkembangan wawasan dan ilmu pengetahuan.

Urgensi Rasionalisme : Belajar dari Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah salah satu jalan bagi formulasi rasionalisme ketauhidan ketika dia memisahkan yang esensial dari yang tidak esensial, mempertahankan aspek fundamental dan meninggalkan aspek aksidental warisan sejarah. Abduh percaya bahwa Al-qur’an dan Hadist sebagai petunjuk Tuhan, tetapi pemikiran adalah sebagai petunjuk utama dalam hal – hal yang tidak tercantum di Al-qur’an dan Hadist. Rasionalisme interpretatif terhadap Islam secara substansial, nonliteral, dan kontekstual sesuai denyut nadi peradaban manusia kiranya memang merupakan satu kebutuhan untuk mengusung Islam kearah yang positif di area peradaban global.

Akal adalah alat bedah utama rasionalisme yang memiliki otoritas tertinggi. Karena hanya dengan memfungsikan akal manusia dapat mengaktualisasikan tugas yang diembankan Tuhan padanya yang secara kategori merupakan kohensi dari dua fungsi pokok manusia baik sebagai hamba dan sekaligus khalifah-Nya. Dan karena akal pula manusia dapat menyerap ilmu pengetahuan sebagai alat “bedah”terhadap realitas objektif dan mampu memberikan informasi yang bersifat operasional bagi kelangsungan hidup manusia.

Reformulasi rasinalisme dalam konteks pembelajran di pesantren sebagaimana diangankan Abduh pada pendidikan Al-Azhar di Mesir adalah untuk mengarahkan perubahan pembelajaran yang mengarah pada penalaran, menunjukan cara berpikir untuk berbuat, dan membawa emosi dan perasaan untuk bekerjasama dalam membimbing sivitas pesantren kearah kebahagiaan dunia dan akhirat.


Relevansi Sistem Pendidikan Islam dan Perkembangan Teknologi – Industri.

Di era teknologi dan industri ini ada dua hal yang berkaitan dengan aktivitas pendidikan, yaitu :

  1. Posisi dan peran pendidikan yang semakin strategis dalam proses pengambilan keputusan politik.
  2. Pendidikan dituntut konstribusinya dalam mempersiapkan sumber daya manusia.

Kedua hal itu akan bermakna apabila pendidikan mampu memberikan fungsi yng optimal bagi perkembangan dan kemajuan yang ada. Sementara fungsi pendidikan itu sendiri akan semakin diperhitungkan apabila suatu jenis atau suatu lembaga pendidikan mempunyai kualitas yang baik.

Perspektif teknologi dan industri sebenarnya makin memperjelas kontribusi lembaga pendidikan Islam sebagai wadah penghasil guru agama. Di tengah gelombang reformasi global dewasa ini kehadiran guru agama memiliki kompetensi strategis dalam memanifestasikan pendidikan agama guna menghantarkan peserta didik bukan terbatas pada sosok yang mampu menjadi pelaku pembangunan. Tetapi harus mampu mengendalikan, menguasai dan memimpinnya seperti mengarahkan dan mendistribusikan pada aktivitas – aktivitas yang bermanfaat baik secara pribadi, sosial maupun organisator, agar keberadaan peserta didik tidak dangkal karena penetrasi yang berkarakter mekanistik dan juga agar sekaligus tidak kropos dalam bidang moralitas.

Kiranya dalam menghadapi tuntutan idealisme cultural dan reformasi global perlu dilakukan langkah – langkah strategis, yaitu :

  1. Guru agama Wajib memprofesionalkan dirinya atau pandai – pandai beradaptasi sesuai tuntutan reformasi global.
  2. Adanya peningkatan ekstra dari pemerintah, terutama dibidang kesejahteraan guru agama.
  3. Calon guru agama, baik mahasiswa maupun santri sejak dini harus siap – siap memahirkan dirinya melalui penggodokan secara serius terhadap sumber daya intelektual-nya.


“Reintegrasi Keilmuan” UIN : Antara Koherensi dan Tuntutan Pembangunan.

Perguruan tinggi Islam seperti layaknya UIN sebagai bagian integral pendidikan nasional dihapkan juga mampu mmpertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi, politik nasional dan global. Perubahan – perubahan paradigma, kosep, visi, dan orientasi baru pengembangan pendidikan Islam seharusnya segera dilakukan agar tidak terisolir dari dunia dan lembaga pndidikan yang lain.

Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN jelas sedikitnya mengandung dua persoalan krusial yang bakal ditemui yaitu antara kerangka manajemen strategis dan epistemolgi institusi. Pada kerangka manajemen perubahan itu tidak lebih sebagai perubahan yang bersifat formal, artificial, premature dan in-efficient. Sedangkan epistemology institusi, UIN akan mengalami kesulitan dalam penataan kurikulum yang akan dibangun.

Terjadinya perubahan tersebut sebagai model “reintegrasi keilmuan”, merupakan satu bentuk pengembangan, peningkatan dan pemantapan status. UIN diharapkan dapat menjadi model system pendidikan Islam yang memiliki kualitas tinggi dibandingkan dengan PTN/PTS lain, yang memiliki status, peran dan fungsi yang sama, disamping memiliki otonomi lebih luas baik dalam pengembangan akademik, manajemen, maupun administrasinya.

Bahkan lebih dari itu UIN diharapkan dapat menempatkan diri pada posisi dan peran yang lebih strategis, terutama sebagai pelopor dan penggerak pencedrasan maupun kemajuan umat (Islam). UIN di cita-citakan sebagai centre of excellence bagi pengembangan keilmuan pada umumnya dan keilmuan Islam pada khususnya., sehingga terbentuk komunitas ilmiah-religius yang bersendikan ajaran agama.


Urgensi Sistem Pendidikan Asrama : Menilik Relasi Mahasiswa, Kos-kosan dan Fenomena Seksual.

Dengan gejala – gejala seksual yang tidak sehat di kalangan mahasiswa, tampaknya nilai – nilai ideal dan nilai moral “kampus” telah mengalami dekadensi. Kampus sebagai komplemen nilai akademik dan dosen sebagai pribadi yang mempunyai akses intelektual dan moral, dituntut kepeduliannya mengkaji ulang dan meluruskan kembali perilaku mahasiswa yang mulai dan telah mengalami pergeseran dari cita – cita semula sebagai masyarakat akademik. Karena itu system pendidikan di kampus atau perguruan tinggi sekarang ini perlu diklarifikasi dan system asrama mungkin saja merupakan alternatif sebagai alasan kemerosotan moral dan spiritual mahasiswa.

Karena itu klarifikasi kembali terhadap etika dan system pendidikan di kampus/ perguruan tinggi adalah sesuatu yang penting. Kepentingan disini selain mahasiswa sebagi the first level of discource dalam kehidupan masyarakat kampus akan logis jika dilihat secara komprehensif adanya interrelasi dialektis antara kampus/ perguruan tinggi dengan mahasiswa, dosen, dan sitem sosial yang mengitarinya. Dengan demikian diharapkan tercipta formulasi etika dan system pendidikan yang dapat melahirkan lulusan yang memiliki karakter competitive advantage, memiliki daya saing yang handal dan tangguh ditengah gejolak sosial-era globalisasi ini.

Definisi dan Kritik

Mahasiswa sampai sekarang memiliki predikat terhormat di tengah – tengah komunitas masyarakat Indonesia yaitu manusia yang selalu dipahami sebagai lokomotif perubahan. Mahasiswa adalah sekelompok manusia yang berpikir ke depan, dan mahasiswa adalah manusia yang memiliki akses intelektual dan moral “tidak terbatas” untuk diekspresikan.

Terciptanya manusia dewasa dan mandiri seharusnya melekat pada setiap perilaku mahasiswa ialah manusia yang memilki aksentuasi pada suatu kemampuan intelektual maupun kedewasaan emosional. Kemampuan ini umumnya dikaitkan dengan tiga hal yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan.

Asrama : Edukasi Alternatif

Pentingnya system pendidikan asrama dewasa ini, sedikitnya ada tiga alasan mendasar yaitu :

  1. Alasan spiritual.
  2. Alasan ekonomi objektif
  3. Alasan kompetensi global.

Asrama mahasiswa bagaimana mampu menjadi “wadah” yang memobilisasi segenap potensi dan keinginan mahasiswa guna tercipta suasana akademik yang positif dan kondusif sesuai cita – cita ideal kampus atau perguruan tinggi. Maka dengan adanya asrama dan sarana mesjid ini, mahasiswa dapat menghimpun diri dlam forum pengkajian keagamaan dan menjalin hubungan dengan intelektual kampus, di kampus yang bersangkutan atau dari luar kampus.

Disini prestasi ilmu dan teknologi tidak dapat dihapuskan tetapi juga tidak dapat mengalihkan usaha dan energi dari ilmu dan teknologi ke etika dan agama. Inilah perlu adanya system pendidikan melalui penerapan ideology baru, berupa suatu pandangan religius dan falsafah baru yang meliputi seluruh kehidupan.


BAGIAN III

PENDIDIKAN ISLAM

ANTARA DEMOKRASI DAN PEMBEBASAN

¨ Pendidikan Islam sebagai Praktik Pembebasan

System pendidikan Islam harus menjadi alternatif kearah humanisasi pendidikan karena cita ideal Islam adalah tercapainya bentuk – bentuk dan aspek – aspek kemanusiaan secara menyeluruh, baik lahir maupun batin. Ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi melalui bahasan ini dari ajaran Islam bagi bangunan system pendidikan Islam kearah pembebasan dan humanisasi, yaitu :

  1. Konsep musyawarah dan dialogika.

Konsep ini sebagai kritik terhadap system pendidikan naratif dan pendidikan “gaya bank”. Sementara pendidikan dengan system musyawarah dan dialogika berusaha menghantarkan peserta didik secara humanis pada kesejatian dirinya sebagai manusia potensial, aspiratif, dinamis, progresif, evolutif, dan komunikatif. Dialogikapun akan tercipta jika pemikiran kritis dilibatkan sebagai cara pandang realitas objektif bagi adanya perubahan dan perbedaan di dalam pendidikan.

  1. Perintah mencari ilmu dan predikasi mulia bagi orang – orang berilmu.

Selain memberikan kemahiran dan keahlian, ilmu pengetahuan diyakini memiliki kemampuan yang bersifat partikularistik dalam membaca realitas objektif dan memberikan informasi secara operasional dalam realitas kehidupan manusia serta menghantarkannya pada kualitas tertinggi dalam stratifikasi manusia.

  1. Instruksi teologis bagi umat Islam untuk menjadi umat terdepan.

Dalam perspektif pendidikn Islam adalah bahwa pendidikan tidak hanya diarahkan bagi pengembangan manusia seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertaqwa dalam pengertian yang luas, melainkan bagaimana ia menjadi terdepan dari kelompok manusia tersebut.


Liberalisme Pendidikan Islam : Belajar dari Paulo Freire

Paradigma pendidikan mestinya menjadi orientasi kepemimpinan nasional. Sehingga pendidikan demokrasi demokratisasi pendidikan di Indonesia dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Sementara demokratisasi pendidikan mengharuskan dibangunnya fondasi kependidikan melalui rumusan prisip – prinsip kebebasan individu dan kebebasan akademik.

Setiap individu mempunyai hak otonomi untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya melalui bidang pendidikan. Kebebasan akademik bagi seorang dosen barangkali dapat diklarifikasi ke dalam beberapa hal diantaranya :

  1. Seorang dosen harus bebas untuk mengajarkan penemuan – penemuan ilmiah dan pandangan – pandangannya tentang kebenaran secara jujur dan terbuka.
  2. Seorang dosen harus bebas menyajikan kepada mahasiswanya penemuan dan penilaiannya terhadap segala sesuatu yang berbeda dalam kawasan keahliannya.
  3. Seorang dosen harus bebas mempublikasikan hasil penelitian dan gagasan – gagasannya supaya kawan seprofesi dan masyarakat luas dapat mengambil manfaat dan sekaligus mengoreksi/mengkritisi atas karyanya.

Sedangkan kebebasan akademik mahasiswa meliputi :

  1. Hak memperoleh pengajaran yang benar
  2. Hak untuk membangun pandangan sendiri berdasarkan studi yang ditekuni
  3. Hak untuk mendengarkan dan menyuarakan pendapat, dan
  4. Hak untuk menyebarkan sesuatu yang rasional dari hasil telaahnya, dan bukan hanya itu mahasiswa juga punya hak untuk menyatakan pendiriannya secara rasional dan ilmiah, melainkan hak keluar dari kebodohan, keterbelakangan, dan diskriminasi pendidikan.

Kritik atas Banking Concept of Education

Kritik Fierre terhadap kebijakan dan praktik kependidikan yang memasung kebebasan dan kemerdekaan, memperbudak kreativitas dan produktivitas, serta menguburkan aspirasi dan inspirasi kiranya memiliki daya sentuhnya yang signifikan bagi liberalisme pendidikan Islam.

Situasi kependidikan yang ditemukan Paulo Freire di Brazil mengatakan bahwa masyarakat Brazil tidak lebih sekedar dari “kaum rombengan” di muka bumi. Posisi masyarakat pendidikan berada pada kondisi tertindas dan diskriminatif, yaitu paham kapitalisme sekolah yang menjajah harga tiket masuk ke sekolah. System pendidikan yang demikian dinamakan dengan pendidikan “Gaya Bank” yaitu sebuah system pendidikan dengan cara menginvestasikan jika bukan menggadaikan segenap potensi dan kemampuan semata – mata guna memperoleh ijazah sebagai laba investasi.

Pendidikan gaya bank mengabadikan cara – cara dan kebiasaan – kebiasaan yang mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertindas secara keseluruhan, yaitu :

  1. Guru mengajar, dan murid diajar.
  2. Guru mengetahui segala sesuatu dan murid tahu apa – apa.
  3. Guru berpikir dan murid dipikirkan.
  4. Guru bercerita dan murid patuh mendengarkan.
  5. Guru yang menentukan peraturan dan murid yang diatur.
  6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, sedangkan murid hanya menyetujui.
  7. Guru berbuat sedangkan murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
  8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
  9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
  10. Guru adlah subjek dalam proses belajar, murid adalah objek belaka.

Pendidikan gaya bank ini mengabadikan kontradiksi – kontradiksi guru-murid secara diskriminatif. Guru-murid diletakkan pada kutub – kutub yang bersebrangan dalam bentuknya yang menindas. Idealnya, suatu system pendidikan seharusnya adalah menempatkan manusia sebagai makhluk yang berkesadaran yaitu suatu kesadaran yang diarahkan ke dunia. Liberalisasi pendidikan adalah suatu usaha berkesadaran pendidikan dalam rangka meninggalkan usaha tabungan dan mnggantikannya dengan penghadapan pada masalah – masalah manusia dalam hubungannya dengan dunia.

Keluar dari Kapitalisme

Perubahan status beberapa PTN di Indonesia ternyata jadi menuai masalah. Pasalnya PTN – PTN terkemuka ini mengalami kesulitan untuk menutupi anggaran pendidikan yang direncanakan. Melalui PP Nomor 153 tahun 2000 yang memberikan keleluasaan bagi PTN yang berstatus BHMN mengelola diri sendiri, termasuk mencari dan mengelola keuangan sendiri tanpa mengandalkan subsidi APBN.

Jika pendidikan sudah dijadikan barang mewah dan hokum pasar sebagai acuan, komersialisasi pendidikan kiranya tidak dapat dielakkan. Selanjutnya bukan tidak mungkin praktek korupsi, kolusi dan nepotisnme dilembaga pendidikan akan merajalela. Komersialisasi pendidikan dan uang sebagai “adikuasanya”, akan mengerdilkan peran strategis pendidikan sebagai pembebasan manusia secara menyeluruh dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan.

Demikian juga jika pendidikan hanya diorientasikan pada uang dan menjadikannya sebagai barang komersial, maka akan kehilangan nilai – nilai substansinya sebagai sarana pencerahan dan pencerdasan. Nilai – nilai substantive ini akan lenyap di telan oleh semangat, ambisi dan praktik pendidikan yang kapitalistik dan konsumeristik.

Lembaga tinggi yang bersangkutan dituntut untuk sedikit “cerdas” dalam mengelola administrasi keuangan dan pendanaannya. Untuk mengembalikan citra pendidikan sebagai barang public ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

§ Pemerintah senantiasa harus melakukan improvisasi dan sekaligus pengawasan secara evaluatif terhadap gerak laju pendidikan tinggi di universitas – universitas supaya tidak keluar dari substansi kependidikan.

§ Lembaga pendidikan tinggi yuang sudah masuk kategori BHMN harus dapat memanfaatkan peluang kemandirian universitas untuk mengembangkan usaha kependidikan, baik bidang akademik-pengajaran, penelitian dan pengabdian maupun sesuatu yang berhubungan dengan adiminstrasi keuangan, kesejahteraan pegawai dan pendanaan lainnya.

§ Masyarakat juga perlu disadarkan dan sadar diri bahwa pendidikan adalah milik bersama yang harus diperjuangkan. Semua orang berhak dan wajib memperoleh pendidikan yang layak sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Kebijakan pemerintah dan universitas harus diacu kearah investasi humam capital secara menyeluruh yang memungkinkan public memiliki akses yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan pendidikan harus dibuka lebar – lebar kepada semua elemen public secara menyeluruh tanpa kecuali. Public bersama pemerintah bersama – sama juga melakukan evaluasi dan pengawasan intensif terhadap mutu pembelajaran di setiap universitas yang ada.


Fenimisme Emansipatoris dalam Pendidikan Islam :

Refleksi Pemikiran Pendidikan R.A Kartini.

Gerakan fenimisme merupakan gerakan yang selalu marak dan tidak pernah selesai diperjuangkan sekaligus selalu menarik untuk diperbincangkan, diperdebatkan dan didiskusikan. Nilai fenimisme yang diperjuangkan oleh kaum hawa adalah memposisikan perempuan pada proporsinya.

Ada banyak sebab terjadinya diskriminasi terhadap perempuan, baik bersifat teologis, filosofis, maupun cultural seperti masih kentalnya budaya patriarkhi yang menyelimuti seluruh lapisan masyarakat. Kondisis dominan patriarkhi kiranya merupakan sebab utama terjadi diskriminasi, baik didalam sector domestic maupun social-politik.

Seperti kegelisahan fenimisme dunia pada zaman Kartini, Kartini adalah seorang perempuan jawa yang senantiasa “gelisah” berada di dalam “kerangkeng” budaya patriarkhi kaum priyayi. Kartini percaya bahwa dengan pendidikan kaum perempuan bisa dengan cepat dapat tercerahkan dan “jendela” masa depan yang lebih baik akan terbuka.

Namu demikian, gairah hidup untuk maju yang dikibarkan Kartini dalam surat – surat nya itu tidak menyurutkan generasi sepanjang zaman untuk menelaah dan mengelaborasi lebih jauh untuk kemudian dijadikan konsep kearah masa depan yang lebih baik. Kartini melalui surat – suratnya yang terangkum dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang diterjemahkan oleh Armijn Pane – salah seorang pelopor sastrawan Pujangga Baru-kepopulerannya bukan berarti telah banyak orang yang benar – benar mengetahui isi surat – suratnya tersebut.

Kumpulan surat – surat Kartini pertama kali diterbitkan dengan judul Door Duisternis Tot Licht pada tahun 1911, yang disusun oleh JH. Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini yang pada saat itu menjabat Menteri/Direktur Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Pada subbahasan ini kiranya menarik untuk ditelaah beberapa hal yang berkaitan dengan Kartini, yaitu :

o Potret Kartini sebagai sosok pribadi utuh yang dengan gigih memperjuangkan gerakan pendidikan di Indonesia dan kritik – kritiknya terhadap kebudayaan Jawa.

o Cita – cita dan obsesi Kartini untuk memajukan dunia pendidikan kaum perempuan yang terdistorsi dan terdiskriminasi oleh budaya patriarkhi, serta implikasi konseptual bagi perkembangan pendidikan selanjutnya.

o Gagasan Kartini tentang ideology pembebasan perempuan, dilihat dari perspektif Islam dan kesetaraan gender.

Jadikan Sekolah sebagai “Taman Berlibur”

Ada sebuah ungkapan filosofis yang menarik untuk direnungkan, dikatakannya bahwa “bila kau jenuh menghadapi rutinitas, dunia ini menyediakan banyak tempat untuk berlibur.” Namun, ada asumsi lain yang beranggapan bahwa sampai sekolah dan universitas masih dianggap sebagai “laboratorium mini” untuk melihat dan sekaligus bisa dijadikan referensi dalam mengarahkan kehidupan kearah perkembangan yang dinamis dan progresif.

Melalui sekolah dan universitas seseorang diharapkan mampu menguji dan mengubah citra diri dalam kesinambungan hidup yang terus berjalan secara dinamis. Artinya, hanya melalui pendidikan seseorang dapat bergerak cepat untuk mengubah citra dirinya. Karena itu, system pendidikan selain memberikan pelajaran tentang mata pelajaran atau mata kuliah dari satuan kurikulum yang ditetapkan maka sudah seharusnya juga dapat memberikan pelajaran tentang kehidupan nyata yang sedang dan akan dihadapi peserta didik dan mahasiswa.

System pendidikan yang dijalankan oleh setiap pemandu pendidikan tidak boleh terangkat dari akar budaya dan tradisi serta perkembangan kehidupan masa depan peserta didik dan mahasiswa secara khusus dan masyarakat secara umum. Melalui akumulasi system demikian barangkali suatu system pendidikan akan banyak diminati dan memberikan rasa rileks bagi setiap pengguna pendidikan.

Namun perlu juga disadari bahwa jenjang pendidikan yang ditempuh seseorang tidak sertamerta dapat memberikan istana kerja yang layak padanya sesuai keinginan dan disiplin ilmu yang ditekuninya sejak dibanku sekolah dan kuliah. Mimpi memperoleh pekerjaan sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya tidaknlah harus menjadi satu – satunya alternative masa depan. Untuk itu, motivasi pertama melanjutkan studi hendaknya dioerientasikan pada sesuatu yang paling mendasar, yaitu ibadah kepada Tuhan dan tuntutan amanah kehidupan. Jika ini yang menjadi orientasi, jalan menuju kehidupan yang lebih layak akan terbentang luas dalam berbagai alternativ.

Spiritualitas Cinta dalam Pendidikan Islam : Upaya Mengembalikan Jati Diri Manusia.

Manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandangan pinggiran eksistensinya itu, tidak pada pusat spiritualitas dirinya sehingga mengakibatkan lupa siapa dirinya. Sedangkan pendapat Rosyadi mendeskripsikan bahwa manusia modern adalah pribadi yang sepenuhnya dan secara absolute terasing. Teralienasi dari dirinya, ia sudah mendai masyarakat teknokratik dan industrialistik yang cenderung bergerak dari warga Negara yang tak terkordinir pada kesadaran individu.

Seseorang penganut falsafah cinta bisa menapresiasikan dan menghayati “yang lain” secara baik, kreatif-produktif, suportif, kompetitif, dan toleran. Cinta demikain disebut Rosyadi adalah cinta produktif. Manusia produktif dan kreatif dalam pandangan Rosyadi yaitu manusia alternatif bagi keterasingan manusia itu sendiri. Untuk mengakses cinta yang produktif dan sekaligus bisa keluar dari keterasingan, manusia harus dikembalikan kepada kesejatiab dirinya yang merdeka dan otonom.

Pendidikan Islam sebagai pengejewantahan dari nilai – nilai Islam juga harus diacu kearah pembentukan kesadaran manusia secara menyeluruh. Cinta subagai tata nilai yang memiliki otoritasbagi pembentukan kesadaran manusia, diharpakan memanifestasikan bagi segenap sivitas akademik. Jika semua sivitas akademik dipenuhi dengan cinta, maka proses pembelajran pendidikan akan berjalan dengan dinamis dan harmonis. Hanya dengan bahasa cinta banguna kepribadian manusia dalam proses pembelajan dan pendidikan akan dicapai secara utuh.

UU Sisdiknas 2003 : Suatu Ancangan Kearah Pendidikan Multikulturalisme

UU sisdiknas adalah salah satu undang – undang yang sarat kontroversi. Hal ini terlihat dari proses pengesahan rancangan undang – undang tersebut. Masyarakat pendidikan terbelah : antara yang pro dan yang kontra. Reaksi atas RUU sisdiknas cukup massif, tidak saja di Jakarta, tatapi juga dibeberapa tempat di Indonesia. Semua sivitas akademika perguruan tinggi dan sekolah – sekolah berdemonstrasi berkenaan dengan RUU sisdiknas itu sebagai usaha memperjuangkan aspirasi baik yang pro maupun uang kontra, yang sesuai dengan visi, misi dan tradisi yang dianutnya.

Tulisan ini tidak mengungkapkan semua persoalan yang berkaitan dengan RUU Sisdiknas 2003 secara tuntas, tetapi hanya berusaha mendudukan problem kontroversi pengesahan dalam spectrum kependidikan yang membebaskan, khususnya yang berkenaan dengan Pasal 13 ayat(1). Karena pasal dan ayat inilah yang paling mengemuka didiskusikan dan diperdebatkan oleh banyak kalangan.

¨ Berbagai Kritik yang Sentimental

Indonesia adalah salah satu Negara bangsa didunia yang meniscayakan multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang mengacu pada trans-etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha”politik” kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontroversi dan kritik. Dan kenapa hal demikian bisa terjadi, ini disebabkan karena :

· RUU Sisdiknas mengemukakan kali pertama karena adanya dua versi : versi DPR (27 Mei 2002) dan versi Pemerintah (20 dan 28 Februari 2003). Adanya dua versi ini kemudian melahirkan polemic yang membawa kontroversi dan kecurigaan masyarakat. Masyarakat menilai bahwa pembahasan RUU itu, baik di DPR maupun Pemerintah sarat akan berbagai kepentingan politik.

· RUU Sisdiknas dinilai mereka yang kontra bahwa Negara ingin mengambil alih peran keluarga secara menyeluruh dalam konteks pendidikan agama.

· RUU Sisdiknas mgesankan akan mematikan dan mengerdilkan anak didik dalam pengetahuan agama.

¨ UU Sisdiknas : Ancangan ke Arah Multikulturalisme.

UU Sisdiknas telah didahkan oleh Negara, tetapi polemic yang terjadi mengenai RUU tersebut masih relevan untuk dikemukakan kembali. Polemic RUU Sisdiknas waktu itu tamppak cenderung hanya tereduksi pada masalah pendidikan agama. Reduksi muncul ketika lembaga – lembaga pendidikan memiliki kaitan ideologis keagamaan atau berafilisiasi pada agama tertentu.

Masalah yang kruasial sesungguhnya bukan pada eksistensi UU Sisdiknas yang multiinterpretable, melainkan bagaimana sekolah merespon undang – undang itu secara arif dan terbuka bagi pengakuan keagamaan masing – masing anak didik untuk secara sama dan merdeka mereka memperoleh hak – haknya.

Kesadaran pluralitas dan multikulturalitas tidak pernah dipercayakan kepada guru/dosen agama untuk mentranformasikan kepada anak didiknya. Padahal guru/dosen merupakan barisan terdepan yang cukup berwibawa untuk menanamkan nilai – nilai keagamaan yang kondusif untuk mencegah terjadinya kerusuhan dan konflik antaretnik, antaragama dan antarbudaya.

Tentu bersama itu pula guru/dosen agama harus dibekali diri dengan isu – isu actual, kesiapan mengakses informasi yang akurat dan tepat, serta kesanggupan mengapresiasikan segala persoalan social-keagamaan dan social-kemasyarakatan dengan jernih. Kemampuan – kemampuan demikian merupakan bekal yang berpretensi positif bagi terciptanya sikap empati, simpati, solidaritas, keadilan, dan toleransi guru/dosen dalam memandang sesamanya yang berlainan agama secara humanis dan harmonis.


BAGIAN IV

PENDIDIKAN ISLAM

REKONSTRUKSI MANAJEMEN & METODOLOGI

Manajemen Berbasis Sekolah & Masyarakat.

Apresiasi masyarakat terhadap system pendidikan Islam semakin menggembirakan. Kondisi struktur social-historis masyarakat muslim yang mengalami kemajuan membangkitkan kesadaran mereka akan arti pentingnya pendidikan. Dengan kata lain, suatu kesadaran yang berusaha memperjuangkan orang – orang professional akademik dalam relasi sosial-politik kenegaraan yang selama ini cenderung hegemonik, sehingga pada gilirannya diharapkan penciptaan kebijakan akademik yang lebih otonom.

Salah satu wujud akademik yang dimaksud adalah desentralisasi dan otonomisasi penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan sebagai sarana yang paling efektif bagi aktualisasi masyarakat, milik dan untuk masyarakat, maka desentralisasi dan otonomisasi adalah sesuatu yang penting. Sekolah diberikan kebebasan dan keleluasaan dalam mengelola seumber daya dan sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan sekolah dengan mengakomodasi seluruh kebutuhan masyarakat setempat.

Dalam hal ini, masyarakat juga dituntut memahami pendidikan, membantu dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan ini dikenal dengan istilah Manajemen Berbasis Masyarakat (MBS).

Kepala Sekolah : Antara Manajer dan Supervisor Akademik

Salah satu elemen penting dari kegiatan pendidikan adalah upaya kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolah. Kepala sekolah sebagai pemegang “otoritas” disekolah memiliki tanggungjawab professional dan moral untuk menjadikan sekolah sebagai pusat keilmuan, kebudayaan, dan kepribadian bangsa.

¨ Kepala Sekolah sebagai Manajer.

Kepala sekolah sebagai manajer betanggung jawab penuh bagi proses perencanaa, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan dari kegiatan pendidikan di sekolah. Sebagai manajer/pemimpin, kepala sekolah mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk mengarahkan semua komponen sekolah sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing – masing.

Sebagai administrator, kepala sekolah mempunyai tugas untuk mengorganisasi dan menata semua kegiatan supaya tercapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Karena itu, kepala sekolah yang berfungsi sebagai manajer di sekolah yang di pimpinnya harus memiliki berbagai keahlian menajerial baik secara fungsional maupun general, seperti keahlian teknikal, keahlian kemanusiaan, dan keahlian konseptual.

Selainitu, kepala sekolah juga diharuskan memiliki kepekaan moral kerja yang positif dalam proses administrative dan kepemimpinan yang efiktif, dalam arti menciptakan suasana batin yang menyenangkan sehingga semua sivitas sekolah meiliki semangat kerja yang tinggi dalam melakukan pekerjaannya. Moral yang tinggi merupakan dorongan bagi terciptanya usaha partisipasi secara maksimal dalam kegiatan sekoalh untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan.

¨ Kepala Sekolah sebagai Supervisor Akademik.

Jika dikaji lebih jauh sesungguhnya tugas dan tanggung jawab kepala sekolah bukan saja sebagai manajer tetapi sekaligus adalah supervisor akademik. Sebagai supervisor, kepala sekolah berfungsi sebagai sosok pribadi yang secara kontinyu memberikan bimbingan, bantuan, pengawasan, dan penilaian terhadap masalah – masalah yang berhubungan dengan pengembangan dan perbaikan program kegiatan pengajaran dan kependidikan.

Kepala sekolah harus memberikan layana yang optimal kepada seluruh pelaksana pendidikan, khususnya pelayanan bagi guru yang secara professional bertanggung jawab langsung bagi kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah.

Jabatan kepala sekolah sejatinya bukan hanya dipahami sebagai jabatan structural yang diikat oleh tingkatan eselon dan waktu kerja professional : keahlian, panggilan hidup dan dijalani sepeneuh waktu, sesuai teori – teori baku dan universal, untuk kepentingan masyarakat, dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif, otonom, dan sesuai kode etik yang seharusnya dan sebenarnya.

Ke Arah Rekonstruksi Inovatif-Metodologis Pendidikan Islam.

Kecenderungan sebstansial – materi keagamaan daripada proses metodologis ini kiranya perlu dikritisi dan didiskusikan kembali untuk menemukan citra ideal pendidikan Islam ynag competitive advantage di era industri global. Dalam sejarah pemikiran Islam ada tiga kostruksi epistemologis toeri pengetahuan, yaitu :

¨ Pengetahuan Rasional.

¨ Pengetahuan Inderawi

¨ Pengetahuan Kasyf yang diperoleh melalui kekuatan intuitif atau ilham.

Epistemologis seseorang akan bergerak sesua perkembangan zaman, maka disarankan adanya pemikiran dan mentalitas yang positif dan kreatif. Yaitu suatu usaha konstruktif-inovatif secara simultan dan berkesinambungan untuk menemukan kerangka epistemologi/ metodologi yang relevan dengan perubahan dan perkembangan.

Guru sebagai Ujung Tombak Keberhasilan Siswa

Tidak ada pendidikan tanpa kehadiran guru. Guru merupakan penentu arah dan sistematika pembelajaran mulai dari kurikulum, sarana, bentuk pola, sampai kepada usaha bagaimana anak didik seharusnya belajar dengan baik dan benar dalam rangka mengakses diri akan pengetahuan dan nilai – nilai hidup.

Guru merupakan resi yang berperan sebagai “pemberi petunjuk” ke arah masa depan anak didik yang lebih baik. Peran dan tanggung jawab guru dalam proses pendidikan sangatlah berat. Karena itu, eksistensi guru tidak saja mengajar tetapi sekaligus mempraktekkan ajaran – ajaran dan nilai – nilai kependidikan Islam.

Sumbangan berharga bagi filsfat kependidikan Islam ialah pandangan yang menyatakan bahwa guru harus memperhatikan kecenderungan dan kesenangan anak didik akan suatu pelajaran. Karena itu, performance guru menentukan berhasil tidaknya proses belajar.

Sikap dan kepribadian guru dengan memberikan sepenuhnya perhatian, pemahaman, dan pengertian kepada anak didik diyakini memompa motivasi dan meningkatkan prestasi mereka. Citra positif guru diyakini mampu mendongkrak respons dan suportivitas anak didik dalam meraih kesuksesan dalam belajar.

¨ Guru antara Profesi dan Prestasi

Profesionalisme guru kiranya kunci pokok kelancaran dan kesuksesan proses pembelajaran di sekolah. Karena hanya guru yang professional yang dapat menciptakan situasi aktif anak didik dalam kegiatan oembelajaran.

Guru yang professional diyakini mampu mengantarkan anak didik dalam pembelajaran untuk menemukan, mengelola dan memadukan perolehannya, dan memecahkan persoalan – persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan nilai maupun keterampilan kehidupannya.

¨ Guru antara Panglima Profesi dan Jihad

Tugas keguruan sejatinya tidak hanya panglima kerja profeional melainkan juga pengabdian kepada sesuatu. Profesi keguruan bukan hanya kerja mencari nafkah keseharian, melainkan juga panggilan “jihad”nuntuk mencurahkan segala kemampuan untuk mencari ridha Tuhan. Jika panggilan profesi guru hanya dibatasi oleh ruang dan waktu professional, maka di dalam panggilan jihad seorang guru tidak mengenal ruang dan waktu bekerja.

Kurikulum Sekolah : dari CBSA sampai KBK

Tiga unsur pokok yang menetukan berhasil tidaknya proses pembelajaran adalah kurikulum, sumber daya pendidikan, dan kualitas pembelajaran. Kurikulum dalam suatu pendidikan adalah ruh. Desain kurikulum memiliki korelasi positif dengan hidup dan matinya proses pembelajaran di sekolah. Karena kurikulum itu merupakan tekanan kualitatif dari tiga jenis kompetensi yang harus dikuasai yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.

System pola pembelajran yang efektif dan konsep cara belajar siswa yang aktif sesungguhnya sudah lama dikenal. Sejak diberlakukannya kurikulum 1994 sudah disarankan penerapan CBSA itu, sekalipun implementasinya di sekolah masih kurang. Hal ini disebabkan antara lain oleh kebijakan politik pemerintah yang sentralistik dan instruksionistik.

Kebijakan politik pemerintah saat itu memasung kreativitas dan produktivitas local yang ingin berkembang. Disamping kurikulum 1994 masih menyimpan beberapa kelemahan, seperti sarat materi dibandingkan dengan alokasi jam pelajaran yang tersedia, banyak pengulangan dan duplikasi, dan kurang fungsional bagi kepentingan anak didik untuk hidup maupun melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi.

KBK yang diintrodusir oleh berbagai surat keputusan, seperti dalam pembelajaran perguruan tinggi di keluarkan SK Mendiknas No.232/U/2000 tentang pedoman penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan penilaian hasil belajar mahasiswa. KBK adalah kurikulum yang didesain untuk meningkatkan mutu pendidikan yang berpijak pada kualitas kompetensi anak didik. KBK yang ditawarkan sebagai solusi keruwetan kurikulum yang terjadi selama ini adalah untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakpastian dan kerumitan – kerumitan lainnya.

Senjatinya adalah apapun formulasi kurikulum yang dikembangkan harus mengacu pada kondisi ideal dan riil anak didik dalam relasi-edukatif di sekolah maupun diluar sekolah.

Operasional KBK jelas membutuhkan energi kebersamaan antara berbagai elemen yang secara langsung maupun tak langsung dalam proses pembelajaran sekolah. Sikap meiliki dan bertanggung jawab akan pendidikan mutlak dalam mengejawantahkan KBK oleh semua sivitas sekolah dan masyarakat sehingga integrasi kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat terpenuhi.



Sumber Buku : Membuka Jendela Pendidikan

By : Dr. Imam Tholkhah & Ahmad Barizi, M.A.